suksesi

KETIKA berada di luar negeri baru-baru ini, Uni Lubis dan August Parengkuan dari TV7 menelepon saya supaya ikut mewawancarai Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Yogyakarta. Kepala pemerintahan Malaysia yang ke-empat ini berkunjung di kota "gudeg" untuk suatu acara penghargaan.

Permintaan dari rekan-rekan akrab itu segera saya iya-kan. Mereka dengan penuh dedikasi ingin mengembangkan TV7, bagian dari grup Kompas/Gramedia. Lagi pula ada faktor penting, kenapa mewawancarai PM Mahathir Mohamad merupakan pengalaman menarik.

Jarang ada seorang pemimpin di negara berkembang bukan Barat yang secara sadar mengatur suksesi kepemimpinan yang normal. Mundur secara teratur dan terencana, bukan karena demo-demo ataupun kup militer adalah suatu prestasi amat penting dalam pembangunan politik sebuah negara bukan Barat.

Andai kata Presiden Soeharto mampu melakukan suksesi normal, mungkin pada tahun 1993, maka agaknya situasi kondisi Indonesia akan lain sama sekali ketimbang sekarang ini. Dan nama seorang Soeharto yang lahir di Desa Kemusu, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan direkam dalam sejarah Indonesia dengan tinta emas sebagai presiden kedua RI yang mampu mengatur suksesi normal.


Para pemirsa televisi mungkin tidak selalu sadar betapa kompleksnya persiapan mengatur wawancara televisi di lokasi yang jauh dari studio induk. Apalagi kalau wawancara itu melibatkan panel terdiri dari lima orang, termasuk pemandu, seperti dengan PM Mahathir Rabu lalu (22/10). Empat kamera ditujukan kepada para panelis dan tokoh yang diwawancarai. Bayangkan, betapa berat alat-alat pendukung yang diangkut dari Jakarta.

Persyaratan teknologis dan komersial sebuah wawancara televisi (dipotong oleh pesan-pesan sponsor) dengan sendirinya mempengaruhi gaya wawancara. Apalagi kalau dilakukan secara panel. Umpamanya, sulit untuk mengembangkan suatu pendekatan dengan beberapa pertanyaan secara berurut sehingga yang diwawancarai itu terdorong untuk memberikan ungkapan yang terus terang. ''Kalian itu terlalu lunak terhadap Mahathir Mohamad,'' komentar Dewi Fortuna Anwar dari LIPI yang mengikuti seluruh wawancara tersebut. Teman lama, Wisaksono Moeradi yang pernah menjadi wartawan harian Pedoman di tahun 1950'an dan kemudian bekerja di bagian pers dan humas Caltex Pacific Indonesia menilai keseluruhan wawancara dengan PM Mahathir kurang fokusnya.

Komentar-komentar teman-teman itu agaknya ada benarnya. Namun ada satu hal yang berhasil ditonjolkan oleh wawancara di Yogya itu: Mahathir Mohamad itu seorang pemimpin yang manusiawi. Kesan bahwa dia bersikap sebagai manusia biasa saja terasa benar, ketika bercakap-cakap sebelum wawancara. Masyarakat internasional cenderung menyangka berdasarkan kutipan pidato-pidatonya yang mengritik hal-hal yang dianggap "suci" seperti peranan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, kapitalisme Barat, hak asasi dan peranan orang Yahudi bahwa Mahathir Mohamad adalah seorang megalomaniak. Seorang yang haus kuasa dan ingin ternama di dunia.

Namun ketika menatap dia dari dekan, konklusi saya, Mahathir ini bukan seorang Sukarno yang gemar tampil dengan pakaian seragam, bintang-bintang emas di pundaknya, tanda-tanda jasa berderet yang tidak jelas asal-usulnya dengan tongkat seorang marsekal dan selalu diiringi oleh para ajudan dan pengawal.

Kalau nanti sebuah biografi terbit tentang diri Mahathir Mohamad, tolok ukur apa yang akan diterapkan untuk menunjukkan bahwa dia seorang pemimpin bangsa yang sukses?

Kecuali realisme politiknya untuk mengundurkan diri pada waktunya ("Kalau saya bertahan terlalu lama, nanti saya ditendang ke luar", pernah dikatakannya secara bergurau), ada dua atau tiga hal lainnya yang dapat dianggap sebagai prestasinya.

Pertama, kepemimpinan Mahathir Mohamad telah meningkatkan bobot ekonomi/finansial Malaysia dan mengangkat kesejahteraan rakyat biasa. Kedua, kepemimpinannya itu amat mendorong maju kecerdasan generasi muda Malaysia. Dana dalam jumlah besar dialokasikan untuk mengirim berpuluh ribu pemuda-pemudi Malaysia belajar di negara-negara maju.

Andai katapun, di antara para mahasiswa yang mendapat beasiswa negara itu ada yang gagal, namun jumlah yang sukses cukup besar yang merupakan investasi masa depan Malaysia.

Pembangungan ekonomi dan perubahan sosial menuju kemajuan cenderung melonggarkan kohesi sosial politik di sebuah negara berkembang. Sebagai hal ketiga, yang dapat dianggap prestasi kepemimpinan Mahathir Mohamad selama 22 tahun adalah keberhasilannya memelihara persatuan nasional Malaysia yang multirasial itu. Meskipun terdapat keluhan dan gerutu bahwa ada diskriminasi terhadap mereka yang bukan asal-Melayu.

Namun PM Mahathir Mohamad sendiri akhir-akhir ini dalam berbagai pidato telah mengritik masyarakat asal Melayu yang bersikap manja menikmati fasilitas khusus, pada hal usahanya tidak maju-maju.


Sebenarnya persoalan sulit yang dihadapi seorang tokoh kenegaraan dan politik yang secara sukarela mundur dari tanggung jawab aktif setelah sekian lama, apa yang akan dilakukannya untuk menyibukkan diri? PM Mahathir Mohamad secara bergurau berkata, nanti mulai tanggal 1 November setelah dia berhenti sebagai kepala pemerintahan, ia ingin bangun lat tanpa diganggu oleh jadwal ketat.

Namun ada hal besar yang agaknya dapat digarap oleh Mahathir Mohamad setelah dia nantinya menjadi mantan Perdana Menteri. Dalam wawancaranya dengan TV7, dia nampaknya khawatir melihat perkembangan Islam setelah lebih dari seribu tahun yang dalam berbagai penampilannya seperti bergeser dari kaidah-kaidah utamanya. "Saya ini seorang fundamentalis", demikian Mahathir Mohamad. Maksdunya, dia setia dan junjung tinggi prinsip damai dan toleransi sebagai dasar pokok Islam.

Dengan prestisenya yang tinggi dan waktu tersedia, agaknya mantan PM Malaysia ini dapat berperan sekali untuk mengembangkan dan memantapkan sikap damai dan toleransi ini. Umpamanya, dengan mendirikan sebuah pusat diskusi di sebuah lokasi indah di Malaysia dengan mengundang tokoh-tokoh muda Islam dan agama lainnya dari negara-negara di Asia Tenggara. Dan mendiskusikan, bagaimana mendorong kerukunan antar-agama di Asia Tenggara supaya wilayah dengan sekitar 500 juta manusia ini dapat maju bersama menghadapi globalisasi.


Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik di Indonesia, serta masalah internasional, berdomisili di Jakarta.


Dikutip tanpa perubahan dari www.suarapembaruan.com
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/25/Editor/edi01.htm

Yang jadi pertanyaan, kalo emang tahun 1993 Soeharto melakukan suksesi normal, apa Indo bakal beda kaya sekarang? Atau sama aja? Mau kapan diganti kek tetep aja kacau kaya gini? :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Lagu sekilas