Suksei kasus

Orang masih ingat, pada waktu Laksamana Sudomo, berbicara tentang
suksesi politik. Waktu itu, selaku Menko Polkam, dia berbicara tentang
calon Presiden dan menganggap harus lebih dari satu. Tetapi pada
kenyataannya, pada sidang MPR tahun 1993 yang lalu, calon presiden
hanya satu.

Kini, masalah suksesi politik muncul kembali di permukaan. Setelah
Presiden Soeharto, diminta kesediaannya untuk dicalonkan kembali
menjadi Presiden pada persidangan MPR tahun 1998 yang akan datang,
antara lain oleh Pemuda Pancasila dan IKBLA Arief Rachman Hakim,
jabatan Wakil Presiden jadi perdebatan.

Ada yang mengatakan, bahwa Wakil Presiden bukanlah mandataris MPR.
Karena itu, bila Presiden berhalangan tetap, ia tidak otomatis bisa
menggantikan Presiden sebagai mandataris, melainkan hanya melaksanakan
tugas-tugas kepresiden sampai ada Presiden terpilih, hingga pemilu
berikutnya.

Tapi, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Wakil Presiden otomatis
menjadi mandataris MPR jika Presiden berhalangan tetap. Pendapat ini,
dikemukakan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Menurut Ginandjar, kalau Presiden
berhalangan tetap, maka Wakil Presiden otomatis menjadi Presiden dan
sekaligus mandataris. Saya setuju dengan pandangan Ketua Bappenas ini,
karena tidak bisa dipisah-pisahkan jabatan Presiden dengan mandataris.
Begitu dia menjadi Presiden maka otomatis menjadi mandataris, sampai
pemilihan umum berikutnya.

Semua ini menurut saya, demi suksesi politik yang biasa berlangsung
secara teratur. Supaya, ada kesinambungan dan pembaruan. Ada yang
mengatakan le roi est mort, vive le roi dengan maksud untuk tidak
mengganggu kesinambungan. Tapi biar bagaimanapun, pembaruan atau
renewal penting untuk dilaksanakan.

Bila kita perhatikan, suksesi politik, dalam arti yang luas, adalah
cara di mana kekuasaan politik beralih, atau transfer dari satu
individu, pemerintahan atau rezim, ke yang lain. Dalam arti sempit dia
menunjuk kepada cara atau pengaturan yang teratur pada saat peralihan
kekuasaan itu berlangsung, sehingga krisis legitimasi yang terjadi
sesaat bisa dikuasai dengan tepat. Kemampuan untuk membuat transisi
secara konsisten dari waktu ke waktu ini adalah indikasi dari
berlangsungnya stabilitas politik. Hal ini termasuk juga usaha untuk
menghindari terjadinya monopoli kekuasaan oleh seorang individu,
dengan cara yang tidak demokratis, untuk jangka waktu tertentu.

Dalam berbagai literatur politik bisa dibaca, bahwa contoh tentang
macetnya suksesi politik yang teratur dan demokratis, adalah kasus
Ferdinand Marcos di Filipina dan Jean-Claude Duvalier di Haiti. Kasus
ini, menunjukkan bahwa sekalipun suksesi politik adalah hal yang
penting dalam kehidupan politik, tetapi sifat biologis manusia dalam
hal si penguasa, kerap kali membuat hambatan.

Dalam kasus Marcos dan Duvalier itu terlihat, bahwa pemegang kekuasaan
cenderung untuk mengindentifikasikan dirinya dengan stabilitas sistem
politik. Karenanya, kekuasaan politik itu harus dipegangnya
terus-menerus.

Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa suksesi bukan hanya
menyangkut masalah pengganti atau suksesor saja, tetapi juga
serangkaian keputusan ataupun pengatur untuk mengimplementasikannya.

Dalam rangka ini, ada dua hal yang penting. Pertama, kemungkinan
adanya kompetisi di antara para calon pemegang kekuasaan. Kedua,
interaksi antara pemerintah dan yang diperintah. Dalam hal kompetisi
di antara para calon pemegang kekuasaan menunjukkan adanya suksesi
politik yang demokratis dan bukan didasarkan pada monopoli kekuasaan
politik. Untuk itu, karena pada akhirnya rakyat yang memilih dan
menentukan, interaksi antara pemerintah dan rakyat untuk
mempersiapkannya, menjadi penting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Lagu sekilas