KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJI

A. Pendahuluan

Kepailitan pada dasarnya merupakan perkara perdata, lebih tepatnya perkara utang-piutang. Penyelesaiannya pun bisa dilakukan berbagai cara, baik mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga atau diselesaikan di luar pengadilan (alternative dispute resolution), tergantung pilihan dari pihak Kreditor yang merasa haknya dilanggar. Perkara kepailitan mempunyai beberapa kekhususan dibanding dengan perkara perdata biasa. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat dari syarat pengajuannya, pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutusnya, dan jangka waktu penyelesaian perkara tersebut yang berbeda dengan perkara perdata pada umumnya. Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah si Debitor harus mempunyai dua atau lebih Kreditor, yang mana salah satu utangnya telah jatuh tempo.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang. Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian., yaitu pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja dan pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara kepailitan akan berkaitan juga dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa jaminan yang bersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata ataupun yang bersifat khusus, seperti Hak Gadai, Hak Jaminan dan Fidusia. Menurut prinsip hukum jaminan, kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak terpengaruh oleh kepailitan. Hal tersebut berarti Kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Mengingat Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disingkat UUKPKPU) merupakan lex specialis (ketentuan yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan), maka penulis tertarik untuk menelaah Kedudukan Kreditor Pemegang Hak Jaminan Kebendaan dalam Perkara Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
B. Permasalahan
PKPU sendiri terbagi 2 bagian, tahap pertama, adalah PKPU Sementara, dan tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) UU Kepailitan Pengadilan niaga HARUS mengabulkan permohonan PKPU Sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditur yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.

Pokok permasalahan yang akan dijadikan objek permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan menurut UUKPKPU, apakah kedudukannya sama seperti dalam perkara perdata biasa dimana kreditor tersebut dapat mengeksekusinya tanpa terpengaruh dengan proses kepailitan?
C. Pembahasan
Setiap Kreditor pasti mempunyai jaminan kebendaan pelunasan utang dari debitor baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Apabila Kreditor tidak meminta jaminan secara khusus ketika melakukan perjanjian utang-piutang dengan Debitor, maka berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata secara otomatis kreditor mempunyai jaminan umum
pembayaran utang dari harta benda milik debitor. Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa harta debitor yang ada dan yang akan ada dikemudian hari, baik harta bergerak maupun tidak bergerak akan menjadi jaminan pembayaran utang bagi kreditor meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya. Menurut Prof. Man S. Sastrawidjaja ketentuan tersebut didasarkan kepada asas tanggung jawab, yang mana asas tersebut diperlukan dalam upaya memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan kreditornya.2
Berbeda dengan jaminan yang bersifat khusus, pihak kreditor sejak semula telah meminta kepada debitor agar hartanya secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo debitor tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta debitor tersebut dapat dieksekusi oleh kreditor melalui prosedur tertentu. Dalam perkara kepailitan terdapat tiga tingkatan kreditor, yaitu:


a. Kreditor separatis, yaitu Kreditor yang mempunyai hak jaminan kebendaan,diantaranya: pemegang hak tanggungan, pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia,pemegang hak hipotik, dan lain-lain
b. Kreditor preferent, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.
b. Kreditor konkuren, atau disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak mempunyai hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium.
Pernyataan pailit seorang Debitor tidak terlalu penting bagi Kreditor separatis dan Kreditor preferent, karena mereka dapat mengeksekusi benda jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Hal demikian berbeda dengan kurator yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan diantara mereka terjadi perebutan harta Debitor. Oleh karena itu , salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak Kreditor bersaing atau Kreditor konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hokum tidak dibenarkan.
Pendapat Man S. Sastrawidjaja terserbut didasarkan pada prinsip hukum jaminan, berdasarkan prinsip hukum jaminan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak gadai, hak tanggungan, pemegang jaminan fidusia, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU, yang berbunyi: ”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Dari isi pasal tersebut, maka meski terjadi kepailitan pemegang hak jaminan kebendaan tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Jadi terjadi atau tidak kepailitan tidak menghalangi hak pemegang hak jaminan kebendaan untuk mengeksekusi haknya.
Namun UUKPKPU tidak konsisten, karena dalam Pasal 56 ayat (1) dikatakan bahwa: ”Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa UUPKKPU tidak konsisten dalam mengatur kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.
D. Simpulan
Dalam kasus Manulife tampaknya dianut pengertian utang secara luas, dimana utang tidak lagi didefinisikan secara sempit semata-mata sebagai kewajiban yang timbul dari transaksi pinjam-meminjam uang/utang piutang, namun segala kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini sudah sesuai dengan definisi utang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 37 tahun 2004 mengenai kepailitan dan PKPU. Dalam kasus Manulife kewajiban yang dianggap mencetuskan utang sendiri timbul dari kewajiban Manulife untuk melakukan pembayaran dividen kepada pemohon sebagai salah satu pemegang saham.

Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditur tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit. Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur bersaingan (konkuren) yang notabene tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap harta si-debitur.

Sementara itu, kreditur yang dijamin (kreditur separatis maupun preferens) karena hak mereka relatif telah ‘terjamin’ dari alokasi hasil penjualan harta debitur (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan diambil dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengakukan kepailitan tidak semendesak kreditur konkuren dalam menjamin pelunasan piutang-piutang mereka.
Dalam hal kreditur yang dijamin dapat membuktikan bahwa jaminan yang ada telah tidak cukup untuk melunasi utang debitur kepada mereka, misalnya, jaminan yang ada hanya senilai Rp. 100 juta, padahal nilai utang adalah Rp. 200 juta, maka tidak ada masalah bagi mereka untuk menuntut sisa utang tersebut melalui mekanisme kepailitan. Meskipun kalimat pada Pasal 60 UU Kepailitan mengatakan. ‘Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang’

Namun kalimat ‘hasil penjualan’ tidak dengan serta merta menjadi batasan impreratif, bahwa jaminan tersebut harus terlebih dahulu dieksekusi. Lihat juga pasal 138 UU Kepailitan, yang mengatakan Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.

Dari situ terlihat bahwa terbuka kemungkinan pengajuan kepailitan oleh kreditur separatis, tanpa perlu terlebih dahulu mengeksekusi jaminannya. Karena secara logika, suatu proses kepailitan tidak sama sekali akan merubah konstelasi pembagian harta pailit, ataupun menambah keuntungan kreditur yang separatis. Karena tambahan nilai perolehan yang akan diperolehnya dari proses kepailitan juga tidak akan signifikan, karena pada akhirnya tetap dicocokkan oleh kurator dan kemudian harus dibagi secara proporsional dengan kreditur konkuren lainnya, sementara hak separatis dari jaminannya sama sekali tidak berkurang.

Keputusan pengadilan tentang ini relatif masih inkonsisten, meskipun dalam beberapa kasus sebelumnya issue ini sudah dianggap selesai, dan tidak ada permasalahan bagi kreditur separatis untuk mengajukan kepailitan, namun dalam permohonan kepailitan Sojitz Corporation terhadap Thirta Ria, baik dalam pengadilan tingkat pertama, maupun kasasi, pengadilan berpendapat bahwa kreditur harus terlebih dahulu melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia.

Menurut hemat saya, indikasi bahwa UU No.4/1998 lebih menekankan perlindungan terhadap kreditur, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Karena konsep dasar kepailitan adalah memberikan jalan yang relatif adil, bagi kreditur yang ingin memperoleh pembayaran terhadap piutang-piutang yang notabene merupakan hak mereka. Cukup fair, apabila hukum menjamin hak pemulihan uang dari seorang yang sudah meminjamkan uangnya kepada debitur, dari risiko kegagalan bayar baik sengaja maupun tidak sengaja. Karena tanpa perlindungan yang memadai, maka yang terjadi adalah, orang bisa saja ingkar dari kewajibannya, tanpa perlu takut bahwa tindakannya dapat terjangkau oleh hukum.
Berdasarkan pembahasan di atas, jelas bahwa UUPKPU terutama ketentuan Pasal 56 ayat (1) telah melanggar prinsip umum hukum jaminan dimana kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung melaksanakan eksekusi apabila terjadi kepailitan.
E. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, menurut penulis seharusnya UUPKPU mengatur kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip hukum jaminan. Jadi pemegang hak jaminan kebendaan dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.




DAFTAR PUSTAKA
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni,2006, hlm.75.
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Yogyakarta, 2002, hlm 115.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Lagu sekilas