Makalah HTN 66

KEMANDIRIAN LOKAL: Upaya Pemberdayaan Hak-hak Sipil*
Oleh : Purwo Santoso**

1. Pendahuluan.

Seusai kekuasaan rejim otoriter Orde Baru dibawah pimpinan presiden Suharto, pekik pemisahan diri dari pangkuan ibu pertiwi berkumandang di sana sini. Pekik yang terdengar di satu sudut lebih nyaring dari yang lain. Barisan yang memekikkan juga tidak sama panjang. Bungkus luapan tuntutan tersebut berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Namun, balik itu semua terbesit suatu kesamaan yang mendasar, yakni masyarakat melalui elite politiknya, berusaha mengeksploitasi kerentanan pemerintah pusat yang mewarisi krisis dari pendahulunya. Mereka melakukan hal itu dalam rangka mencegah terulang-kembalinya cengkeraman otoritarianisme terhadap masyarakat setempat.
Pasangan-pasangan telinga yang selama ini terbiasa dengan nada dasar otoritarianisme tentu saja memerah, tidak tahan mendengar tuntutan-tuntuan yang menurut ketentuan formal tidak bisa ditolerir, seperti pemisahan diri dari cakupan negara kesatuan. Dalam jajaran pemagar integrasi negara1 terlihat kegatalan untuk kembali menggunakan jurus-jurus militer, namun kekangan opini publik nampaknya masih cukup efektif. Gejala apakah ini ?

Kalau kita berpegang pada primbon lama untuk mengeja fenomena tersebut di atas, ungkapan yang keluar adalah separatisme. Peragaan atribut persenjataan untuk memperlantang tuntutan pemisahan diri, cukup bagi Jendral Sudrajat untuk membubuhkan cap separatistisme bagi luapan kemarahan politik di Aceh. Cap separatisme ini, dalam kosa kata Orde Baru, memiliki makna yang spesifik: menjadi musuh negara. Kacamata militer barangkali lebih sensitif terhadap sinyal separatisme dan doktrin kemiliteran TNI memang mengharuskannya begitu. Untuk kepentingan kajian analitik, kacamata yang lebih jelek sensitifitasnya terhadap sinyal separatisme3/4ironisnya3/4justru lebih bermanfaat.
Tuntutan separatisme memang tidak boleh dianggap enteng, namun respon permusuhan terhadapnya bisa jadi justru bersifat kontra-produktif. Cap separatisme bisa jadi justru membantu mengkristalkan apa yang sebetulnya adalah gertakan politik menjadi suatu tujuan resmi. Ibaratnya, kalau seorang anak marah dan mengancam untuk minggat dari rumah orang tua, lalu anak ini kemudian diusir betul-betul diusir dari rumah orang tua, maka jelas si anak akan kabur beneran. Dengan meminjam istilah kedokteran, kita harus bisa memisahkan simptom dari penyebab penyakit. Kalau respon hanya diarahkan pada penghilangan simptom, maka bisa jadi untuk sementara simptom ini akan hilang, namun keparahan penyakit bisa terlihat dalam periode berikutnya.

Akurasi respon pemerintah terhadap tuntutan yang menggolora di sana sini bukanlah hal yang mudah untuk dirumuskan, manum justru melalui respon akurat inilah peluang pemerintah untuk mengatasi masalah tersisa. Nalar dan asumsinya kira-kira begini. Loyonya cengkeraman otoritarianisme memberi peluang bagi gerakan politik untuk memperluas radiasinya dan memperdalam akarnya. Akumulasi tapak negatif otoritarianisme selama ini telah memperkuat legitimasi untuk memobilisasi sumberdaya politik masyarakat, tetapi ironisne, penyekapan nafas gerakan politik justru memperkuat denyut resistensi.


Sumbu dari semua persoalan yang diketengahkan di atas adalah hubungan masyarakat dengan negara, khususnya pengendali poros pemerintahan. Tuntutan pemisahan diri, dalam konteks ini, bisa dicerna sebagai suatu pengembangan bingkai politik (political framing) yang dilakukan dengan sengaja untuk memperkuat bobot polit gerakan yang dilansir. Secara taktis, tuntutan pemisahan diri dari kesatuan republik ini, bisa ditempatkan sebagai titik awal, atau tuntutan terberat, yang bisa ditaruh diarena negosiasi politik. Sinyalemen semacam ini kiranya tidak terlampau meleset ketika kita mendengar bahwa para eksponen Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, mengekspresikan kesediaanya untuk melibatkan diri secara langsung dalam negosiasi politik yang dirajut oleh pemerintahan KH. Abulrahman Wahid.
Argumentasi yang ingin dibangun dari pencermatan fenomena di atas adalah bahwa dalam masyarakat kita saat ini sedang dalam proses pencurahan energi politik, dalam rangka memaknai reformasi politik. Setelah berpuluh-puluh tahun peluang untuk memaknai gagasan politik digagahi oleh pemerintah, kini masyarakat membentang berbagai wacana politik, yang meskipun sebagian diantaranya bertabrakan satu sama lain, merupakan fondasi untuk membangun kemandirian dari dominasi pemerintah. Kesimpang siuran wacana ini adalah implikasi logis dari ekspresi kemandirian ini.
Di era reformasi ini telinga kita harus mulai terbiasa dengan perbedaan-perbedaan pendapat. Disamping kita melihat ada segmen masyarakat yang getol mengumandangkan tuntutan referendum menuju pemisahan diri, ada yang mengendarai gagasan konversi negara kesatuan menjadi negara federasi. Di luar lingkaran ini kita melihat semaraknya perbincangan tentang otonomi yang luas. Tantangan kita bukan hanya membiasakan telinga ini terbiasa mendengarkan perbedaan pendapat, namun yang paling penting adalah memiliki kesepakatan-kesepakatan cara dan prosedur untuk menentukan pendapat mana yang akan diambil dan mengikat semua orang. Jelasnya, kesepakatan-kesepakan tentang cara penentuan inilah yang merupakan benteng penjaga kemandirian masyarakat.
Kalau yang kita kenakan adalah kacamata yang kalah sensitif dari kacamata militer tadi, maka dinamika politik tadi3/4yang meskipun diungkapkan dengan tuntutan pemisahan diri3/4adalah sesuatu yang perlu disambut baik, kalau tidak disyukuri. Betapapan hal itu meresahkan, hal ini adalah pembeberan adanya sumberdaya politik. Sumberdaya politik ini memiliki arti penting bagi pembaruan politik di Indonesia. Jelasnya, mengingat telah cukup lama dan sistematisnya proses pelucutan sumberdaya politik dalam masa pemerintahan otoriter, adanya luapan energi politik yang cukup dahsyat dalam masyarakat, sedikit banyak merupakan kejutan gembira bagi proses penataan ulang keperkasan negeri ini. Kegembiraan ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang menyadari bahwa keperkasaan negeri ini hanya bisa dirakit dari sinergi antara negara dan masyarakat.

2. Kemandirian Lokal.
Gerakan politik yang berkembang dalam masyarakat mengartikulasikan tuntutan yang berbeda-beda kadarnya3/4pemisahan diri, federalisme dan otonomi daerah yang luas3/4namun ketiganya memiliki kesamaan tema: kemandirian lokal. Pilihan frase 'kemandirian lokal' oleh panitian seminar ini sangatlah cerdik. Kecerdikan ini terlihat secara jelas kalau frase tadi kita dikaitkan dengan keragaman agenda gerakan politik yang berkembang dalam masyarakat tadi.

Pertama, istilah kemandirian lokal ini cukup longgar untuk membingkai keragaman wacana yang memfalitasi perguliran gerakan politik dalam masyarakat. Jelasnya, konsep kemandirian lokal memperbolehkan masing-masing eksponen untuk memaknai gerakan menurut versinya sendiri, namun sekaligus memberi kesempatan bersentuhan, kalau bukan terdialogkan, satu sama lain. Kedua, konsep kemandirian lokal bisa menarik diri dari kecenderungan pemaknaan yang didominasi negara (state centric). Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa yang perlu menggalang kemandirian adalah hanya pemerintah daerah. Jargonya adalah otonomi daerah. Dalam kehidupan sehari-hari konsep otonomi daerah ini cenderung terdegradasi menjadi otonomi pemerintah daerah. Dengan kata lain, dengan popolarisasi istilah kemandirian lokal akan terbuka peluang untuk menggarisbawahi bahwa kemandirian yang ingin dikembangkan adalah juga kemandiriam masyarakat vis a vis pemerintahnya, baik yang di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

Mencuatnya issue kemandirian lokal ini bukan hanya mengindikasikan bahwa hal ini kini telah menjadi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, namun juga mengindikasikan bahwa selama ini nasib kemandirian lokal dalam keadaan merana. Pertanyaannya, mengapa kemandirian lokal ini begitu diminati dan mengapa kondisinya memprihatinkan ? Untuk mencari jawab atas pertanyaan di atas kita perlu mengingat bahwa rapuhnya kemandirian lokal adalah sisi lain dari sentralisasi, bukan disebabkan oleh sentralisasi. Yang perlu dicamkan bukanlah bukti-bukti sentralisasi melainkan mengapa sentralisasi terjadi di negeri ini. Sehubungan dengan hal ini, setidaknya ada dua fenomena yang kalau kita cermati bisa memberi pegangan dalam mencermatinya secara kritis: instrumentalisme negara dan gerakan hak-hak sipil. Setelah membahas kedua fenomena berikut ini, kita akan mebahas aktualisasinya.

(a) Instrumentalisme negara.
Negara dibayangkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan kolektif. Ini konsisten dengan sebagian prinsip demokrasi, yakni pemerintahan (dari, oleh dan) untuk rakyat. Atas nama pencapaian tujuan kolektif inilah gagasan untuk memfasilitasi negara dengan berbagai hak dan privilege mendapatkan justifikasi. Yang paling ekstrim, negara memiliki monopoli hak menggunakan kekuatan paksa/bersenjata (militer) atas nama kepentingan umum.

Yang menjadi pokok persoalan sebetulnya bukan instrumentalisme negara itu an sich. Yang menjadi persoalan adalah penjabarannya lebih lanjut, yakni seputar batasan dan pembatasan kekuasaan negara dalam mengatasnamakan kepentingan umum. Kita tidak memiliki pijakan institusional yang kokoh untuk menjamin negara bisa mengemban amanat dengan baik. Sambil mengokohkan penguasaan terhadap rakyat, seorang pejabat bisa dengan enteng mengatakan dirinya adalah abdi masyarakat.

Dalam bingkai instrumentalisme negara ini kita letah memberi privilege yang sangat mahal pada negara, yakni otonomi vis a vis masyarakat. Derajat otonomi negara terhadap rakyatnya memang ada pada negara yang sedemokratis apapun,2 namun Orde Baru telah berhasil membangun otonomi yang teramat kokoh dari masyarakatnya. Kita semua tahu sejauh mana wakil-wakil rakyat bisa menjerat otonomi pemerintah. Luasnya otonomi negara ini harus kita bayar dengan merelakan dua dari tiga kaki demokrasi3/4(1) pemerintahan dari rakyat, dan (2) pemerintahan oleh rakyat3/4terjerat oleh kekuasaan negara. Alasannya pembenarnya waktu itu sangat simpel: untuk memungkinkan pemerintah berperan sebagai lokomotif pembangunan maka pemerintah harus punya kemampuan penuh menjadi pengendali. Otonomi negara vis a vis mamsyarakatnya diperankan sebagai penjamin peran instrumental negara.

Di mata pemerintah, khususnya semasa kepemimpinan Presiden Suharto, privilege dalam bentuk otonomi yang luas vis a vis masyarakat ini ternyata dianggap belum cukup. Otonomi relatif yang dimiliki negara ini diperluas lebih lanjut melalui pelucutan swadaya politik masyarakat. Akar swadaya politik masyarakat ditahan pertumbuhannya melalui kebijakan massa mengambang, sementara pemerintah sendiri menghujamkan cengkeraman birokratisnya melalui pelembagaan korporatisme negara. Melalui skenario korporatisme ini organisasi-organisasi kemasyarakatan satu per satu dibuat merasa aman belindung dibawah ketiak pemerintah.3 Pemberian imbalan-imbalan politik kepada para pengurusnya memungkinkan apa yang kita katakan sebagai "organisasi-organisasi kemasyarakatan" berubah peranan menjadi instrumen penguasaan pemerintah terhadap masyarakatnya.
Memang betul, untuk mengoptimalkan peran instrumental negara, kita perlu memiliki negara yang kuat. Dalam memaknai konsep negara yang kuat inilah Orde Baru terpeleset. Dari sudut pandang instrumentalis, negara yang kuat adalah negara yang mampu menggalang kemampuan kolektif untuk mencapai tujuan.4 Kesan kuatnya akan semakin jelas terlihat kalau hal itu dilakukan dengan sesedikit mungkin pengerahan sumberdaya. Orde Baru telah mengambil langkah yang sesat (blunder) ketika sumberdaya politik yang bergelora dalama masyarakat justru diperlakukan sebagai pengganggu otonomi negara. Hubungan antara negara dengan masyarakat diasumsikan bersifat zero sum. Artinya kuatnya negara tidak harus berarti lemahnya rakyat, dan sebaliknya. Asumsi semacam ini secara teoritis tidak berdasar. Studi komparasi politik yang dilakukan oleh Migdal, Kohli dan Shue membuktikan salahnya asumsi zero sum tersebut.5 Bahkan dinegeri komunis Cina yang berpengalaman dalam menerapkan sistem politik yang totalitarian sekalipun bantahan terhadap asumsi zero sum tersebut bisa didukung oleh data empirik.6

Blunder tersebut di atas berimplikasi pada munculnya sejumlah kepincangan. Pertama, di satu sisi gejala ketergantungan masyarakat terhadap negara semakin besar, dan disisi lain, negara semakin keberatan menanggung akibat pengambil-alihan urusan-urusan masyarakat. Kedua, sementara salah urus semakin penyelenggaraan urusan pemerintah menjadi-jadi, kekuatan lembaga pengawasan baik yang berada di dalam tubuh negara sendiri maupun yang berada dalam tubuh masyarakat semakin keroposnya.
Sisi lain dari blunder tersebut di atas adalah bahwa kuatnya negara dijabarkan melalui ekspresi kemampuan represi. Disamping menggunakan kekuatan militer, negara memiliki kendaraan raksana untuk menyalurkan represinya: birokrasi yang didukung teknokrasi. Birokrasi yang oleh Weber diakui sebagai instrumen yang bisa diterima (oleh karena sederetan kelemahannya) sebagai instrumen pengelolaan kepentingan umum yang efisien ternyata bisa didayagunakan sebagai instrumen represi yang lumayan jitu. Jelasnya Orde Baru memiliki kesulitan untuk membedakan antara pemerintahan yang kuat dengan pemerintahan yang kejam. Buntut dari blunder ini adalah runtuhnya legitimasi peran politik militer dan tipisnya konfidensi masyarakat terhadap birokrasi.

Blunder yang ketiga adalah asumsi bahwa hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga diasumsikan bersifat zero sum. Peran kunci pemerintah pusat seakan mempersyaratkan adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Sekali lagi, pengalaman Cina yang berlatarbelakang totalitarianisme pun menunjukkan bahwa kuatnya pemerintahan tidak mensyaratkan hubungan zero sum antara organ pusat dengan organ daerah.7
Kita semua tahu betapa panjang daftar salah urus yang dilakukan oleh pemerintah. Kita telah membayar apa yang pernah disebut-sebut sebagai keberhasilan pembangunan ekonomi dengan harga politik yang sangat mahal, yakni : (1) meranggasnya demokrasi, dan (2) memanjangnya daftar salah urus kepentingan kolektif. Nah, ketika pemerintah pada akhirnya tidak lagi bisa menutup-nutupi akumulasi salah urus peran instrumental negara, maka adalah logislah kalau privilege tersebut di atas ditarik kembali. Pemerintahan harus dikembalikan ke tangan rakyat, dalam arti kalau salah urus ini memang sedemikian parahnya sehingga tidak bisa diperbaiki lagi, maka apa boleh buat: membentuk pemerintahan sendiri adalah suatu kebutuhan. Tanpa bermaksud untuk memberikan dukungan terhadap gerakan separatist, akal sehat kita bisa menerima nalar mereka. Versi yang lebih moderat adalah merakit cakupan teritorial yang lebih sempit3/4melalui pembentukan negara dalam negara (dan dirangkai dalam federasi) atau memperluas otonomi daerah3/4yang memungkinkan penjagaan ril amanah lebih mudah dijangkau. Pelokalan unit pemerintahan ini niscaya akan lebih membuka peluang bagi melembagaan demokrasi yang bersifat substantif, lebih dari sekedar kepatuhan pada prosedur.

(b) Merebaknya gerakan hak-hak sipil.
Gerakan politik berskala global bertemakan civil rights (hak-hak sipil) memang bukan issue baru. Pada tahun 1966 dari gerakan ini telah menelorkan rumusan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Rumusan ini mulai berlaku sekitar sepuluh tahun kemudian, yakni sejak tanggal 23 Agustus 1976.8 Sungguhpun mulainya gerakan politik global ini sudah lama, penetrasinya secara intensif ke Indonesia relatif baru. Penetasi gerakan ini terjadi melalui pengembangan dan pertarungan wacana di kalangan intelektual, interaksi pemerintah dalam politik luar negeri, pembentukan dan advokasi LSM dan sebagainya. Gerakan ini merupakan bagian dari apa yang oleh Allan Ross disebut sebagai global constitutional project.9 Yang menjadi pokok kepeduliannya adalah pertumbuhan kesadaran akan hak-hak rakyat dihadapan kekuasaan negara, termasuk di dalamnya hak menentukan nasib sendiri.

Maraknya gerakan hak-hak sipil ditopang oleh dominasi liberalisme dalam percaturan politik-ekonomi internasional. Gerakan hak-hak sipil ini senantiasa dalam bimbingan liberalisme. Tepatnya gerakan perengkuhan hak-hak sipil disemangati kesadaran bahwa negara adalah kekutan yang berpotensi besar menjadi pengekang kebebasan individu dan oleh karenanya harus senantiasa dibatasi perannya.10 Jelasnya, hak-hak tersebut ditegakkan, antara lain untuk membentengi rakyat dari penyalah- gunaan (termasuk penggunaan berlebihan) kekusaan baik yang dilakukan oleh individu lain maupun oleh negara. Dalam ungkapan Susan Mendus, penegakan hak-hak tersebut adalah untuk membentengi diri dari kebejatan.11
Penampakan dari gerakan hak-hak sipil adalah penguatan swadaya politik masyarakat melalu pembudayaan hubungan adversarial (berhadap-hadapan) antara rakyat dengan penguasa (negara). Belakangan, setelah jenuh dan mempola gerakan adversarial ini, komunitas LSM mengembangkan kemampuan intermediasi sebagai alternatif penyelesaian konflik dimana lembaga peradilan masih sangat lemah kemandiriannya. Yang jelas, gerakan hak-hak sipil ini telah menjadi pemasok setia bahan bakar bagi mesin perlawanan terhadap otoritarianisme.
Terpaan krisis dan membusuknya otoritarianisme meringankan beban gerakan hak-hak sipil dalam mendorong proses pergantian rejim. Dalam masa Orde Baru sempat terjadi suatu paradoks. Rejim yang telah secara sistematis melakukan pelucutan swadaya politik masyarakat akhirnya kehabisan daya untuk mengendalikan masyarakat.12 Sehubungan dengan asal-usul gerakan ini dari negara-negara maju yang dari sononya memang mengadopsi bingkai liberal, Orde Baru pernah menangkisnya dengan berbagai dalih. Namun, pengerasan otoritarianisme pada masa itu rupanya justru menjadi justifikasi bagi pelibatan diri dalam gerakan ini.

Jelasnya, tersedianya basis gerakan hak-hak sipil di negeri kita ini memang memiliki kontribusi bagi keberlangsungan proses perubahan politik, namun masih belum cukup bukti untuk mengatakan bahwa hak itulah yang menjadi penggerak utama. Kalau kita agendakan suatu pemberdayaan hak-hak sipil, kita tidak lagi berangkat dari titik nol. Infrastruktur untuk itu, setidaknya sebagian diantaranya, sudah tersedia. Pertautan gagasan yang diperjuangkan dalam gerakan hal-hak sipil dengan perlawanan terhadap otoritarianisme dan demokratisasi menjadikan pemberdayaan hak-hak sipil tersebut menjadi agenda utama reformasi politik di Indonesia.


(c). Aktualisasi.
Pembahasan tentang hak-hak sipil dalam komunitas ilmu politik biasanya terarah pada kaitannya dengan perjuangan untuk mempengaruhi dan mengendalikan penggunaan kekuasaan publik.13 Penegakan hak-hak sipil biasanya dikaji dalam perannya sebagai salah satu pilar pemandirian rakyat di hadapan penguasa. Penguatan hak-hak sipil biasa dibahas dalam perannya sebagai basis pengembangan masyarakat madani (civil society). Nah kalau begitu kecenderungannya, dimana letak urgensi mengembangkan kemandirian lokal ?
Hak-hak sipil lebih mudah mendapatkan pengejawantahannya dalam politik lokal, dimana keterkaitan antara interaksi antar individu dan antara individu-individu tersebut dengan aparatur negara lebih gamblang keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disinggung di atas, aktualisasi hak-hak sipil adalah fondasi yang memungkinkan tegaknya praktek-praktek politik yang demokratis. Nafas demokrasi ini akan lebih terasakan oleh para pelakunya (pemerintah dan rakyatnya) jika mereka memiliki banyak kesempatan untuk membuat kata akhir dalam proses pembuatan keputusan. Kesempatan ini niscaya akan terbuka lebar manakala Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru (UU 22/1999) dan Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU 25/1999) mulai diberlakukan dengan keseluruhan peraturan pelaksanaannya.
Ekspresi kemandirian lokal harus ada pada kedua eksponennya3/4rakyat dan pemerintah3/4bukan hanya pada salah satu diantaranya. Kalau yang mandiri hanyalah unsur pemerintahannya, maka sangat boleh jadi yang berkembang adalah relokasi otoritarianisme dari jakarta ke daerah-daerah. Kemandirian lokal mendapatkan sosoknya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Dalam kaitan ini penegakan hak-hak sipil menjadi pijakan bagi pelembagaan good governance. Transparansi yang menjadi prasyarat bagi pelembagaan good governance ini niscaya akan lebih mudah dijangkau kalau kata akhir dalam proses pembutan kebijakan cukup diletakkan di tangan organ-organ pemerintahan di daerah. Kalau kemandirian lokal lepas dari bingkai demokrasi, maka bencana politik ekonomi akibat salah urus sebagaimana terjadi dipenghujung era Orde Baru niscaya akan tereproduksi di tingkat lokal, suatu saat nanti. Yang menjadi pertanyaan, seberapa beratkah medan yang akan kita hadapi untuk mengembangkan kemandirian lokal yang demokratis ? Sejauhmana hak-hak sipil telah merasuki perilaku politik masyarakat lokal ?

3. Problematika Pengembangan.
Untuk melihat potensi-potensi dan tantangan-tantangn bagi penegakan kemandirian lokal, ada sejumlah fenomena yang bisa dicermati. Pencermatan ini memang tidak menghasilkan pemahaman hitam-putih karena persoalan kemandirian lokal ini melibatkan sederetan dilema. Pemahaman akan dilema-delema ini akan memberi pijakan dalam pembahasan sub-bab yang berikutnya. Adapun fenomena-fenomena yang penting untuk kite cermati adalah sebagai berikut.

Pertama, Sebagaimana telah diungkapkan dalam pembahasan di atas, dalam penggalangan kemandirian lokal melalui penegakan hak-hak sipil tersembunyi komitmen kita untuk mengadopsi cara berfikir liberal. Dalam pengembangan kemandirian lokal kita sulit berkelit dari infiltrasi cara berfikir liberal sementara alam bawah sadar kita sulit untuk menjaga konsistensi dalam mengadopsi kerangka berfikir liberal ini. Sekalipun sikap permusuhan pemerintah terhadap sesuatu yang beratribut liberal tidak lagi diekspresikan oleh pemerintah yang berkuasa, dalam masyarakat sering kali terlihat adopsi liberalisme yang bersifat parsial, tepatnya cari enaknya saja.

Liberalisme (yang didalamnya klaim hak-hak sipil dengan mudah membonceng) sering diartikan sebagai kesempatan untuk bertingkah semau gua. Penyimpangannya sangat mudah ditebak. Menjadi liberal berarti menjadi anarkhi. Seorang liberal sadar betul bahwa liberty-nya terbatasi oleh liberty orang lain. Oleh karena itu liberalisme justru harus dijaga dengan membatasi membatasi liberty itu sendiri dengan menegakkan rule of law. Sejalan dengan hal ini, penegakan hak-hak sipil mensyaratkan tegaknya rule of law. Persyaratan ini nampaknya masih sulit dipenuhi oleh masyarakat kita. Ketentuan-ketentuan formal bayak yang bisa dinegosiasikan melalui pendekatan informal. Sementara mobilisasi cara berfikir liberal3/4betapapun parsial3/4mampu menjunjang upaya mendongkel otoritarianisme, sikap setengah hati dalam meliberalkan diri justru membuka peluang bagi hadirnya petaka baru. Liberalisasi setengah hati hanya akan menambah kebernian untuk bersengketa namun tidak pernah membekali kemampuan sistemik untuk menyelesaian sengketa. Kemampuan menyelesaian sengketa di kalanganya sendiri adalah juga indikator kemandirian lokal.

Kedua, secara sosiologis kita faham bahwa pengembangan kemandirian lokal mensyaratkan mendayagunaan institusi-institusi yang telah hidup dan berakar dalam kehidupan komunitas setempat. Institusi-institusi ini kebanyakan tumbuh dan berakar bada komunalitas masyarakat setempat. Nah, kalau cara berfikir ini diteruskan kita akan bertemu dengan kenyataan bahwa kaum liberal (di Barat, yang belakangan ini semakin direlakan menjadi rujukan) tidak begitu menggubris komunalitas. Yang berhak mengklaim hak-hak sipil adalah individu-individu. Pendekatan liberal memiliki perporos pada possessive individualism. Sementara itu untukmembendung penggunaan kekuasaan negara secara otoriter kita perlu bersandar pada kolektifitas. Dalam hal ini kita melihat adanya suatu kealpaan kacamata liberal, yakni pelembagaan demokrasi komunal.14
Kehidupan budaya kita menyimpan keaneka ragaman sosok demokrasi komunal di berbagai penjuru tanah air, sebagian masih hidup dan sebagian lagi sudah ditinggalkan. Ini merupakan peluang untuk melakukan inovasi eksperimental dalam membudayakan tegaknya hak-hak sipil dalam komunalitas masyarakat sebagai basis pengembangan kemandirian lokal. Optimisme untuk itu kiranya harus ditambat karena rupanya tapak-tapak otoritarianisme di masa lalu telah cukup jauh menggoyang fondasi komunalitas masyarakat setempat. Sebagian lagi, yang masih hidup, kini dalam keadaan tercabik-cabik oleh proses penyeragaman yang dilakukan penyeragaman pemerintahan desa melalui Undang-undang Pemerintahan desa (UU 5/79). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau dalam banyak kasus, hegemoni negara tidak mudah dicabut, bahkan oleh negara itu sendiri.

Ketiga, pengembangan kemandirian lokal melibatkan transformasi hubungan organ politik di pusat dengan organ-organ di daerah. Dari segi disain, siapa sih yang lebih berhak menjadi perancang isi dan bentuk kemandirian lokal ini ? Taruhkan kasus pembuatan dan penjabaran Undang-undang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Kalau mau konsisten, yang paling berhak mendisain isi dan bentuk kemandirian lokal adalah masyarakat lokal bersama dengan pemerintahan setempat. Yang kita saksikan adalah sebaliknya, pemerintah-pemerintah daerah bertanya-tanya kenapa peraturan pelaksanaan UU tersebut kok tidak kunjung datang. Meskipun Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid dalam beberapa kali penampakannya di televisi mengatakan bahwa paradigma otonomi daerah kini berubah secara mendasar, dalam arti otonomi itu adalah milik daerah bukan pemberian pemerintah pusat. Ternyata, lembaga yang dipimpinnya dengan asyiknya menggahi hak mendisain penyelenggaraan otonomi daerah dalam bentuk penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan UU 22/1999.
Keempat, pengekspresian kemandirian lokal dari segi keuangan akan tetap melibatkan ketegangan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah-pemerintah daerah. Disamping persoalan ketimpangan antar daerah yang sudah sering dibicarakan orang, kita tidak boleh lupa bahwa pemerintah pusat memiliki tanggung jawab moneter yang sangat berat untuk menjamin kelancaran pembayaran hutang luar negeri. Kalaupun dalam undang-undang sudah ditentukan bahwa daerah-daerah (terutama yang kaya) akan menerima porsi yang relatif besar dari kekayaan sumber alamnya, pemerintah pusat harus putar otak secara kencang-kencang untuk bisa menjamin bahwa negara memiliki cukup banyak devisa untuk menjamin pembayaran hutang luar negeri.

4. Kemandirian Lokal sebagai Gerakan Politik
Adalah suatu kejanggalan kalau kemandirian lokal in kita fahami semata-mata sebagai kreasi aktor-aktor eksternal dari lokalitas yang bersangkutan. Kemandirian lokal, idealnya, adalah ekspresi dari dinamika politik-ekonomi dan budaya lokal. Namun, adalah suatu keprihatinan kalau kemandirian lokal yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung muncul ke permukaan. Situasi dilematis semacam ini tentu telah sangat dihayati oleh para perancang kebijakan di Kementerian Otonomi Daerah. Menteri Ryaas Rasyid tentu memuliki alasan yang masuk akal kenapa lembaganya mengambil posisi dominan dalam menjabarkan UU 22/1999.

Untuk berkelit dari dilema-dilema tersebut di atas ada baiknya kita menempatkan persoalan kemandirian lokal ini sebagai suatu gerakan politik. Dengan menempatkannya secara demikian maka keterlibatan para aktor-aktor, khususnya aktor-aktor eksternal, bisa dikonseptualisasikan sebagai partisipan atau kontributor, bukan sebagai disainer atau perekayasa kemandirian. Kontribusi ini bisa diberikan dalam bentuk dukungan sumberdaya, informasi, saran, stimulan, fasilitas jaringan (network) dan sebagainya. Yang jelas, dari perspektif gerakan ini kita bisa mendudukkan peranan aktor-aktor internal sebagai penentu gerakan kualitas gerakan secara lebih proporsional. Sungguhpun demikian jangkauan tetap bisa meluas, mencakup seluruh penjuru negeri ini, karena denyut gerakan-gerakan pada lingkup lokal ini bisa terangkai dalam interaksi kewacanaan (discursive) yang terfalitiasi oleh media massa.

Kita tahu bahwa kesuksesan suatu gerakan tidak hanya ditentukan oleh strategi dan kemampuan memobilisasi sumberdaya, melainkan juga oleh struktur kesempatan politik.15 Kajian tentang gerakan sosial-politik belakangan ini semakin terarah perhatiannya dan berusaha untuk mengungkap tiga katerogi persoalan: (1) struktur kesempatan dan hambatan yang dihadapi, (2) bentuk-bentuk organisasi (formal-maupun informal) yang tersedia untuk mengerahkan kekuatan, (3) pembingkaian (framing), yakni proses penafsiran, penyebutan dan konstruksi sosial secara kolektif yang berperan menjembatani peluang dan aksi.16 Ketiga aspek ini akan dicermati secara singkat dalam kaitannya dengan pengembangan kemandirian lokal.

(a) Struktur kesempatan dan hambatan.
Secara teoritis, struktur kesempatan politik ini meliputi struktur formal dan informal. Dari segi formal, kiranya tidak bisa disangkal bahwa pada saat ini tersedia kesempatan yang sangat luas. Dalam kondisi krisis, dorongan untuk melangsungkan perubahan terlihat sangat kuat, karena perubahan itu diyakini sebagai persyaratan untuk keluar dari krisis. Perubahan-perubahan yang terjadi kebanyakan mengarah para perlawanan terhadap negara, dalam bentuk pelecehan otoritas negara, invovasi tradisi politik baru yang tadinya tidak direlakan oleh penguasa dan sebagainya.17 Krisis legitimasi yang dialami oleh pemerintah menjadikan resistensi pemerintah terhadap perubahan sangat minim. Sebagai contoh, langkah presiden Suharto untuk coba-coba tidak mematuhi kesepakatan reformasi ekonomi yang diramu IMF di penghujung akhir kekuasaannya ternyata justru memperparah keadaan, dan berbuntut semakin runyamnya nilai tukar rupiah saat itu.

Kalau yang kita cermati adalah struktur peluang informal, maka peluangnya terlihat sedikit berbeda. Struktur informal yang dimaksudkan disini adalah keterpolaan prosedur dan strategi-strategi tak terkatakan yang diterapkan oleh penguasa dalam menghadapi perlawanan terhadap otoritasnya, baik yang bersifat eksklusif (represi, konfrontasi, polarisasi) maupun yang integratif (pemfasilitasan, kerjasama, assimilasi). Termasuk di dalam struktur informal ini adalah cara pandang dan logika-logika yang dianut secara khusus di kalangan organ pemerintahan dalam menghadapi gerakan politik.18
Struktur informal yang tidak kondusif bagi berkembangnya kemandirian lokal adalah ambivalensi aparatur negara. Ketika mereka diperankan dalam posisinya sebagai petugas negara, mereka mengeksploitasi cara berfikir birokratis, yakni menempatkan diri sebagai sebagai aparat negara. "Saya kan hanya aparat". Tetapi manakala mereka diperankan dalam fungsi sosial kemasyarakatan, yang mengedepan adalah pengedepanan superioritasnya. Pengejawantahan yang paling klasik adalah sebagai pembina. Melalui klaim pembinaan inilah hegemoni negara atas kehidupan masyarakat dipelihara. Implikasi dari ambivalensi tersebut di atas adalah adanya kecenderungan pejabat untuk meminta tambahan wewenang dan sejuah mungkin berkelit dari tanggung jawab. Dengan resiko besar melakukan simplifikasi yang berlebihan, kita bisa memberanikan diri untuk mengatakan bahwa gerakan kemandirian lokal akan dihadapi dengan sikap berkelit ketika pejabat yang terkait dipojokkan dengan ketentuan formal, dan ditangkis dengan peran pembinaan kalau didesakkan melalui jalur informal.

(b) Pengerahan kekuatan.
Kinerja suatu gerakan ditentukan oleh proses pengerahan kekuatan dan sumberdaya melalui berbagai medium, baik itu yang bersifat organisasatoris maupun terakit melalui jaringan. Kalau dalam pembahasan di atas dikatakan bahwa organisasi yang mewadahi pengerakan gerakan kemandirian lokal tidaklah cukup hanya organisasi pemerintahan, perlu ditegaskan juga bahwa secara normatif organisasi pemerintahan memiliki tanggung jawab untuk memandirikan rakyatnya. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu mempelajari potensi sosial politik yang memungkinkan terjadi hubungan sinergis antara pemerintah dengan rakyatnya. Hubungan sinergis ini adalah ungkapan lain dari hubungan yang non zero sum. Lebih dari itu, kunci dari pengembangan kemandirian lokal adalah pelembagaan interaksi sinergis antar aktor-aktor yang memiliki kepentingan dalam dan kompetensi dalam hal itu.

Petensi penggalangan sinergi di suatu kawasan tidaklah sama dengan yang berada di kawasan lain. Salah satu potensinya adalah mendorong proses reorientasi organisasi-organisasi yang selama ini menjadi wahana korporasi negara. Sekiranya proses reorientasi, baik melalui picu internal maupun eksternal, sulit dilakukan, maka pembubaran organisasi-organisasi tersebut sudah boleh dikatakan sebagai langkah maju. Penghapusan medium korporasi negara akan memberi ruang gerak lebih besar bagi berkembangnya organisasi-organisasi yang tumbuh untuk kepentingan rakyat setempat. Hanya saja, pengawasan3/4melalui pelembagaan akuntabilitas pengurus3/4organisasi tersebut merupakan hal yang sangat vital mengingat rawannya potensi eksploitasi keuntungan individu melalui kepengurusan dalam organisasi.

Lahan yang sangat subur untuk pengerahan sumberdaya politik lokal adalah etno-nasionalisme. Di jaman keterbukaan politik ini kiranya tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi kenyataan bahwa etno-nasionalisme merupakan medium yang cukup ambuh untuk menggalang solidaritas. Kebangkitan etno-nasionalisme di berbagai belahan bumi dengan mudah diketahui dari pojok dunia lain yang sudah mengglobal ini. Secara historis diketahui bahwa nasionalisme ini akan menggelora manakala warga bangsa tersebut memiliki musuh bersama.19 Daya tarik untuk memisahkan diri dari ikatan negara kesatuan kalau kekecewaan terhadap salah urus negeri ini berhasil di dramatisir menjadi permusuhan terhadap pemerintah pusat.

(c) Framing.
Wacana otonomi daerah seringkali terjatuh dalam pembingkaian administratif. Pengembangan otonomi daerah tidak jarang difahami sekedar sebagai pelimpahan urusan pemerintahan dari tangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dalam frame yang demikian ini peluang untuk mengulangi kesalahan yang dilakukan Orde Baru sangatlah besar. Atas dasar ini maka dalam makalah ini diusulkan untuk menggunakan frame politik, dengan memperlakukannya sebagai suatu gerakan politik.

Penegakan hak-hak sipil dalam hal ini juga memiliki peran pembingkaian. Berbeda dengan mobilisasi etno-nasionalisme yang memiliki potensi menggiring gerakan politik tersebut ke arah pemisahan diri, penegakan hak-hak sipil justru mengarah ke jurusan yang sebaliknya. Hanya saja, untuk itu ada syaratnya, yakni negara memiliki dan mendayagunakan kapasitasnya untuk merespon secara proporsional.

Framing melibatkan pertarungan wacana. Untuk itu diperlukan kecerdikan dalam mengarahkan wacana yang sejalan dengan pengembangan kemandirian lokal ini, dan kalau perlu, juga menghadirkan wacana tandingan (counter discourse) yang mengarahkan pada delegitimasi sentralisme dan otoritarianisme. Perlu dicatat bahwa pertarungan wacana ini bukanlah proses pemaksaan kehendak, melainkan proses pengasahan wawasan yang tidak mengharuskan sampai pada kesimpulan si anu salah san si anu benar. Kesimpang-siuran wacana tidak perlu disesali karena dalam masing-masing wacana ada argumentasi yang dikandungnya, yang bisa jadi semuanya memiliki kandungan kebenaran.

3. Penutup.
Pengembangan kemandirian dalam jangka panjang akan memiliki konstribusi dalam pengembangan demokrasi. Ironisnya, pengembangannya juga mensyaratkan dipayungi oleh suatu derajat demokrasi. Dengan kata lain pengembangan kemandirian lokal harus dilakukan secara simultan dalam proses demokratisasi pada tingkat lokal. Setelah kita mengaca dari pengalaman masa lalu, pengembangan kemandirian lokal ini bisa difahami sebagai penyediaan insfrastruktur politik untuk meniti kemajuan bersama.
Penegakan hak-hak sipil merupakan pilar penting untuk merakit sinergi hubungan pemerintah dengan rakyat. Dalam pola interaksi semacam inilah penegakan hak-hak sipil mendapatkan kegunaan yang semertinya. Pengembangan hak-hak sipil ini tidak dilakukan semata-mata demi hak melainkan untuk memicu respon positif dari pemerintah.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Disampaikan dalam Seminar Penegakan Hak-hak Sipil menuju Kemandirian Lokal, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (LKIP-FISIP) Universitas Hasanuddin, Makassar, 1 Desember 1999.
** Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1 Istilah 'integrasi negara' dalam konteks ini lebih akurat daripada 'integrasi bangsa'. Yang menjadi pokok persoalan adalah keutuhan dan kemapanan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan tercerai berainya kebangsaan kita oleh karena pertikaian antar etnis yang sangat meluas (dengan pengecualian di sana sini).
2 Eric A. Nordlinger, On the Autonomy of the Democratic State, Harvard University Press, Cambridge Massachussete, 1981.
3 Andrew MacIntyre, "Corporatism, control and Political Change in 'New order' Indonesia, in R.J. May and William J. O'Malley (eds.), Observinbg Chang in Asia: Essay in Honour of J.A.C. Mackie.
4 Joel S. Migdal, Strong States, Weak States: Power and Accomodation", dalam Myron Weiner and Samuel P. Huntington, Understanding Political Development, Waveland Press, Inc., prospect Height, Illinois, 1987.
5 Joel S. Migdal, atul Kohli dan Vivienne Shue (eds.), State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge, 1994.
6 Vivienne Shue, "State power and social organisation in China", ibid.
7 Linda Chelan Li, "Toward a Non-zero-sum Interaktive Framework of Spatial Politics: The Case of Centre-Province in Contemporary China", Political Studies, Vol. 45, no. 1 March 1997.
8 Ian Brownlie (ed.), Dokumen-dokumen Pokok mengenai Hak-hak Asasi Manusia, edisi kedua, Penerbit Universitas Indonesia, 1993.
9 Allan Ross, "Stata Soverignty and Humann rights: Toward a Global Constitutional Project", Political Studies, Vol. 43, special issue 1995.
10 Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Second Edition, John Wiley & Son, Chicehester, 1982.
11 Susan Mendus, "Human Right in Political Theory", Political Studies, Vol. 43, Special Issue, 1995.
12 Pratikno, "Keretakan Otoritarianisme Orde Baru dan Prospek Demokrasi", Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 2, no. 2, November 1998, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
13 David Beetham, "Introduction: Human Rights in the Study of Politics", Political Studies, Vol. 43, Special Issue, 1995.
14 Anthony Black, "Communal Democracy and its History", Political Studies, vol. 45, no. 1, March 1997.
15 Hanspeter Kriesi, "The Political Oppportunity Strukture of New Social Movements: Its Impact on Their Mobilisation", dalam J. Craig Jenkins and Bert Klandermans (eds.), The Politics of Social protest: Comparative Perspective on States and Social Movements, UCL Press, London, 1995. Lihat juga, Aldon D. Morris & Carol McClurg Mueller (eds.), Frontier in Social Movement Theory, Yale University Press, New Haven, 1992.
16 Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald, "Introduction: Opportunities, Mobilizing Structure, and Framing Process3/4Toward a Synthetic, Comparative Perspective on Social Movements", dalam Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald (eds.), Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structure, and Cultural Framing, Cambridge University Press, Cambridge, 1996.
17 Merilee S. Grindle, Challenging the State: Crisis and Innovation in latin America and Africa, Cambridge University Press, Cambridge, 1996.
18 Hanspeter Kriesi, op. cit.
19 Charles F. Andrian and David E. Apter, Political Protest and Social Change: Analysing Politics, MacMillan, London 1995.

KEMANDIRIAN LOKAL

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Lagu sekilas