Mengkritisi Undang-undang Kesehatan Kita

8 March 2010 | Kategori: Berita

Oleh: Yulianti Muthmainnah
Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan – Komnas Perempuan

Selamat datang untuk UU Kesehatan Nomor 23/2009 yang telah disahkan pada tanggal 13 Oktober 2009 dan mulai berlaku secara resmi pada tanggal 30 Oktober 2009. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Inilah hasil dari perjuangan yang memakan waktu lebih kurang delapan tahun; sebuah usaha panjang guna mengamandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UUK) yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.

Akan tetapi, apakah hasil dari amandemen tersebut telah sesuai harapan? Jika membandingkan UUK 23/1992 dengan UUK 36/2009, UUK 36/2009 memang lebih progresif. Mengapa? Karena UUK 36/2009 telah mengakomodir dan memasukkan isu (1) paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; (2) pengakuan terhadap isu-isu kesehatan reproduksi, di Bagian ke Enam Pasal 71 sampai Pasal 77, (3) aborsi yang diperluas untuk korban perkosaan, yakni dibolehkannya aborsi dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 ayat 2 dan 3), (4) pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD di mana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (5) dukungan pemberian ASI eksklusif, di mana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini dengan menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128), bahkan jika tidak maka ada ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan (Pasal 200), (6) kesehatan remaja dan lanjut usia, serta (7) hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodirnya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UUK ini.

Walau demikian, bukan berarti puncak dari keberhasilan telah diraih. Kenyatannya, UUK 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir kebutuhan khusus perempuan. Artinya, disatu sisi, UUK 36/2009 melepaskan satu kaki kanan, dan di sisi lain, mengikat kaki kiri. Sebagai contoh, pertama, masih diskriminatif dan menempatkan perempuan pada pihak yang tidak otonom atas tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus dengan persetujuan suami bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3).

Kedua, hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 72, ”Setiap orang berhak: a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah; b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.” Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tapi justeru direduksi atas dasar status perkawinannya.

Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Jika UUK masih mengharuskan hubungan yang sah, maka hak kesehatan reproduksi individu lajang menjadi diabaikan. Karena, dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah menikah.

Keempat, potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan keadilan. Potensi mengkriminalkan orang tidak bersalah, khususnya perempuan, termasuk pula menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 ’Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini, UUK 23/1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UUK 36/2009 ketentuan pidana ini berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Karena UUK hanya mengecualikan aborsi untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih di bawah 6 minggu.

Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar UUK 36/2009, terutama Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana lapangan dari UUK 36/2009 ini benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat. Sehingga, UUK 36/2009 menjadi undang-undang yang lahir karena respon kebutuhan sebagai jawaban atas persoalan dan bukan menambah persoalan yang baru. Semoga.

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Apa itu Kejaksaan?