Memahami Dasar Teori Revisi KUHP
A Irmanputra Sidin, Dosen Luar Biasa FH UKI, Jakarta
Media Indonesia: 5 Nopember 2003
SETELAH kurang lebih sepuluh tahun rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kini pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) mengintensifkan kembali menyusun revisi KUHP tersebut. Menjelang Ramadan kemarin muncul perdebatan dalam ranah publik tentang Rancangan KUHP (baru) tersebut. KUHP dan keindonesiaan kita saat ini memang ibarat panci bukanlah penutup yang pas, KUHP itu merupakan produk hukum kolonial yang berlaku sejak abad XIX dengan nama orsinal Wetboek van Straftrecht.
Dalam ilmu hukum dikenal konsep the law of non transferrability of law yang dikemukakan Robert B Seidman bahwa hukum tidak dapat ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya. Artinya, bahwa hukum itu harus lahir dari kesadaran, nilai, atau budaya hukum rakyat Indonesia. KUHP saat ini kalau diseret ke dalam pandangan ini, maka tentunya KUHP tersebut bukanlah pada porsi yang sebenarnya.
Revisi KUHP sebenarnya adalah kelambatan Indonesia sebagai negara merdeka untuk meresponsnya dengan membuat KUHP baru. KUHP yang berlaku saat ini menunjukkan bahwa bangsa ini masih dalam status 'imperialisme hukum'. Di sinilah kebodohan bangsa, ketika rezim yang berkuasa sebelum rezim kini tidak pernah mengakselerasi revisi KUHP itu untuk menyesuaikan dengan jiwa, kesadaran, atau budaya hukum rakyat Indonesia.
Merevisi KUHP adalah keniscayaan, memang tidak semua pasal KUHP warisan kolonial tidak dapat diberlakukan dengan dasar tidak sesuai dengan nilai otentik keindonesiaan. Namun, di sana-sini banyak pasal yang perlu ditambah, dikurangi, dan/atau direkonstruksi. Banyak pasal yang memang merupakan pelanggaran atau kejahatan yang bersifat universal seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan seterusnya tetap mesti dipertahankan.
Di zaman yang semakin hari kian melaju, KUHP tersebut semakin hari semakin tertinggal. Contoh sederhana adalah pasal penghinaan terhadap martabat presiden yang beraroma monarkistik dan memahkotakan eksklusivitas lembaga kepresidenan. Pasal ini sudah tidak sesuai lagi diterapkan di zaman demokrasi dengan globalisasi serta perkembangan inklusivitas kekuasaan. Banyak pasal yang sudah 'uzur', misalnya pemerkosaan yang hanya terjadi pada wanita yang bukan status nikah, kini sudah anakronistik karena pada istri pun masih dapat menjadi korban perkosaan yaitu disetubuhi suaminya dengan ancaman/kekerasan. Di zaman kosmopolit ini bahkan lelaki pun juga sudah dapat menjadi korban perkosaan baik oleh kaum wanita bahkan oleh kaum lelaki itu sendiri. Dalam KUHP saat ini juga tampak bahwa sanksi nominal denda yang dijanjikan sangatlah kecil tidak sebanding dengan laju perekonomian global saat ini.
Ada adagium hukum yang mengatakan bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman, het recht hink achter de feiten aan. Dengan dasar inilah sehingga KUHP memang pantas untuk dilakukan perubahan/diganti yang baru. Pemikir-pemikir besar ilmu hukum telah menorehkan banyak konsepsi/teoretis bagaimana eksistensi hukum dan masyarakat. Marcus Tallius Cicero pemikir zaman Romawi mengatakan Ubi Societes Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dari sini dapat dielaborasi bahwa hukum itu sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu sendiri yang merupakan kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adat, nilai, atau budaya yang hidup di masyarakat.
Lawrence M Friedman pemikir hukum AS, bahwa sistem hukum terdiri dari, struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Perundang-undangan adalah bagian dari substansi hukum yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur masyarakat. Antara substansi hukum harus berjalan simetris dan digali dengan budaya hukum. Dalam bahasa Karl Von Savigny pemikir aliran historis bahwa hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist). Sedangkan Plato, menyebutnya hukum merupakan jiwa dari polis.
Pemikir hukum lainnya, seperti Hugo Krabbe mengatakan bahwa hanya norma hukum positif yang tercipta berdasarkan kesadaran hukum rakyat yang dapat dipandang sebagai norma hukum. Norma hukum yang tidak lahir dari kesadaran hukum bukanlah hukum. Namun, Krabbe menyadari bahwa konsep kesadaran hukum rakyat tidak dapat mewakili keyakinan hukum orang seorang yang berbeda-beda dalam kehidupan bersama rakyat. Keyakinan hukum yang berbeda-beda pada individu menuntut adanya kesatuan kaidah hukum.
Kesadaran hukum rakyat harus diorganisasi guna mencapai kesatuan kaidah hukum. Dibutuhkan tatanan hukum yang sama, kesatuan kaidah hukum merupakan condition sine qua non bagi pencapaian tujuan hukum yakni terciptanya suatu masyarakat yang tertib. Bagi Krabbe, hukum merupakan perwujudan kesadaran hukum mayoritas rakyat. Hanya kesadaran hukum mayoritas rakyat yang dapat mewujudkan kekuasaan hukum dalam negara (Laica Marzuki, 1995).
Kesadaran hukum sebagai bagian dari budaya hukum yang dimaksud bukanlah sesuatu yang terpenjara, eksklusif, melainkan sangatlah inklusif. Inklusivitas zaman tidak dapat terelakkan, perkembangan era globalisasi dengan gelombang informasi yang diboncengi oleh kapal induk raksasa mahahebat bernama 'teknologi' sangat memengaruhi kesadaran/budaya hukum rakyat Indonesia.
Kesadaran/budaya hukum otentik telah terinterferensi, bahkan telah terfragmentasi oleh arus yang mahadahsyat ini. Sebagai contoh adalah masuknya internet yang membawa informasi yang tidak bisa terbendung. Budaya otentik tentu tidak mengenal transaksi via internet, namun faktanya seorang penghulu adat saat ini pun berpotensi melakukan transaksi maya tersebut. Tentunya hal seperti ini membutuhkan perangkat hukum untuk mengaturnya, agar tidak menimbulkan kerugian bagi yang lain. Mau tidak mau, memaksa kita untuk membuat konsep kriminalisasi hukum bidang dunia maya. Selama interferensi informasi yang linier mengubah perilaku keseharian yang telah bergeser dari keorsinalannya dianggap tidak betentangan dengan kesadaran/budaya hukum mayoritas Indonesia maka mengakomodasinya dalam pembahasan revisi KUHP bukanlah suatu yang anomali.
Oleh karena itu, KUHP yang diberlakukan kurang lebih dua abad di Indonesia ini memang sudah sangat layak untuk direvisi. Merevisi, mengurangi, menghilangkan, atau menambah berbagai ketentuan hukum yang sudah usang atau menambal dengan ketentuan baru yang dapat mencerminkan kesadaran/budaya hukum mayoritas rakyat Indonesia, adalah dasar filosofis dan teoretis utama dalam perjalanan membuat KUHPidana baru, yang tentunya akan digodok oleh parlemen hasil Pemilu 2004
Media Indonesia: 5 Nopember 2003
SETELAH kurang lebih sepuluh tahun rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kini pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) mengintensifkan kembali menyusun revisi KUHP tersebut. Menjelang Ramadan kemarin muncul perdebatan dalam ranah publik tentang Rancangan KUHP (baru) tersebut. KUHP dan keindonesiaan kita saat ini memang ibarat panci bukanlah penutup yang pas, KUHP itu merupakan produk hukum kolonial yang berlaku sejak abad XIX dengan nama orsinal Wetboek van Straftrecht.
Dalam ilmu hukum dikenal konsep the law of non transferrability of law yang dikemukakan Robert B Seidman bahwa hukum tidak dapat ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya. Artinya, bahwa hukum itu harus lahir dari kesadaran, nilai, atau budaya hukum rakyat Indonesia. KUHP saat ini kalau diseret ke dalam pandangan ini, maka tentunya KUHP tersebut bukanlah pada porsi yang sebenarnya.
Revisi KUHP sebenarnya adalah kelambatan Indonesia sebagai negara merdeka untuk meresponsnya dengan membuat KUHP baru. KUHP yang berlaku saat ini menunjukkan bahwa bangsa ini masih dalam status 'imperialisme hukum'. Di sinilah kebodohan bangsa, ketika rezim yang berkuasa sebelum rezim kini tidak pernah mengakselerasi revisi KUHP itu untuk menyesuaikan dengan jiwa, kesadaran, atau budaya hukum rakyat Indonesia.
Merevisi KUHP adalah keniscayaan, memang tidak semua pasal KUHP warisan kolonial tidak dapat diberlakukan dengan dasar tidak sesuai dengan nilai otentik keindonesiaan. Namun, di sana-sini banyak pasal yang perlu ditambah, dikurangi, dan/atau direkonstruksi. Banyak pasal yang memang merupakan pelanggaran atau kejahatan yang bersifat universal seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan seterusnya tetap mesti dipertahankan.
Di zaman yang semakin hari kian melaju, KUHP tersebut semakin hari semakin tertinggal. Contoh sederhana adalah pasal penghinaan terhadap martabat presiden yang beraroma monarkistik dan memahkotakan eksklusivitas lembaga kepresidenan. Pasal ini sudah tidak sesuai lagi diterapkan di zaman demokrasi dengan globalisasi serta perkembangan inklusivitas kekuasaan. Banyak pasal yang sudah 'uzur', misalnya pemerkosaan yang hanya terjadi pada wanita yang bukan status nikah, kini sudah anakronistik karena pada istri pun masih dapat menjadi korban perkosaan yaitu disetubuhi suaminya dengan ancaman/kekerasan. Di zaman kosmopolit ini bahkan lelaki pun juga sudah dapat menjadi korban perkosaan baik oleh kaum wanita bahkan oleh kaum lelaki itu sendiri. Dalam KUHP saat ini juga tampak bahwa sanksi nominal denda yang dijanjikan sangatlah kecil tidak sebanding dengan laju perekonomian global saat ini.
Ada adagium hukum yang mengatakan bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman, het recht hink achter de feiten aan. Dengan dasar inilah sehingga KUHP memang pantas untuk dilakukan perubahan/diganti yang baru. Pemikir-pemikir besar ilmu hukum telah menorehkan banyak konsepsi/teoretis bagaimana eksistensi hukum dan masyarakat. Marcus Tallius Cicero pemikir zaman Romawi mengatakan Ubi Societes Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dari sini dapat dielaborasi bahwa hukum itu sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu sendiri yang merupakan kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adat, nilai, atau budaya yang hidup di masyarakat.
Lawrence M Friedman pemikir hukum AS, bahwa sistem hukum terdiri dari, struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Perundang-undangan adalah bagian dari substansi hukum yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur masyarakat. Antara substansi hukum harus berjalan simetris dan digali dengan budaya hukum. Dalam bahasa Karl Von Savigny pemikir aliran historis bahwa hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist). Sedangkan Plato, menyebutnya hukum merupakan jiwa dari polis.
Pemikir hukum lainnya, seperti Hugo Krabbe mengatakan bahwa hanya norma hukum positif yang tercipta berdasarkan kesadaran hukum rakyat yang dapat dipandang sebagai norma hukum. Norma hukum yang tidak lahir dari kesadaran hukum bukanlah hukum. Namun, Krabbe menyadari bahwa konsep kesadaran hukum rakyat tidak dapat mewakili keyakinan hukum orang seorang yang berbeda-beda dalam kehidupan bersama rakyat. Keyakinan hukum yang berbeda-beda pada individu menuntut adanya kesatuan kaidah hukum.
Kesadaran hukum rakyat harus diorganisasi guna mencapai kesatuan kaidah hukum. Dibutuhkan tatanan hukum yang sama, kesatuan kaidah hukum merupakan condition sine qua non bagi pencapaian tujuan hukum yakni terciptanya suatu masyarakat yang tertib. Bagi Krabbe, hukum merupakan perwujudan kesadaran hukum mayoritas rakyat. Hanya kesadaran hukum mayoritas rakyat yang dapat mewujudkan kekuasaan hukum dalam negara (Laica Marzuki, 1995).
Kesadaran hukum sebagai bagian dari budaya hukum yang dimaksud bukanlah sesuatu yang terpenjara, eksklusif, melainkan sangatlah inklusif. Inklusivitas zaman tidak dapat terelakkan, perkembangan era globalisasi dengan gelombang informasi yang diboncengi oleh kapal induk raksasa mahahebat bernama 'teknologi' sangat memengaruhi kesadaran/budaya hukum rakyat Indonesia.
Kesadaran/budaya hukum otentik telah terinterferensi, bahkan telah terfragmentasi oleh arus yang mahadahsyat ini. Sebagai contoh adalah masuknya internet yang membawa informasi yang tidak bisa terbendung. Budaya otentik tentu tidak mengenal transaksi via internet, namun faktanya seorang penghulu adat saat ini pun berpotensi melakukan transaksi maya tersebut. Tentunya hal seperti ini membutuhkan perangkat hukum untuk mengaturnya, agar tidak menimbulkan kerugian bagi yang lain. Mau tidak mau, memaksa kita untuk membuat konsep kriminalisasi hukum bidang dunia maya. Selama interferensi informasi yang linier mengubah perilaku keseharian yang telah bergeser dari keorsinalannya dianggap tidak betentangan dengan kesadaran/budaya hukum mayoritas Indonesia maka mengakomodasinya dalam pembahasan revisi KUHP bukanlah suatu yang anomali.
Oleh karena itu, KUHP yang diberlakukan kurang lebih dua abad di Indonesia ini memang sudah sangat layak untuk direvisi. Merevisi, mengurangi, menghilangkan, atau menambah berbagai ketentuan hukum yang sudah usang atau menambal dengan ketentuan baru yang dapat mencerminkan kesadaran/budaya hukum mayoritas rakyat Indonesia, adalah dasar filosofis dan teoretis utama dalam perjalanan membuat KUHPidana baru, yang tentunya akan digodok oleh parlemen hasil Pemilu 2004