Tugas HKI
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saranyang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
Penulis
Jojon D. Lumban Gaol
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN
Latar belakang ……………………………………… 1
Metode penulisan ……………………………………… 2
BAB II. PEMBAHASAN
- Kasus “ Merek Blue Star siapa yang punya ?” ……… 3-4
- Bonceng ketenaran ……………………………………… 4-5
- Analisis kasus ……………………………………… 6-7
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan ……………………………………… 7
Daftar pustaka ……………………………………… 8
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa waktu terakhir ini, khususnya setelah Indonesia ikut meratifikasi perjanjian-perjajian Internasional tentang perlindungan merek terkenal, sudah ada peningkatan upaya untuk melindungi merek terkenal (well-known marks), yaitu merek yang dikenal dan diasosiasikan oleh masyarakat sebagai produk yang berkualitas tinggi. Sekarang ini dipandang perlu untuk menegaskan bahwa apa yang dianggap sebagai merek terkenal bukan hanya membatasi peniruan oleh pihak lain terhadap pemakaian barang sejenis tetapi juga untuk barang-barang tidak sejenis. Pada dasarnya perlindungan hukum merupakan suatu upaya untuk mencapai suatu tujuan hukum.
Perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan Merek Terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat perlindungan hukum.
Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual khusunya terhadap Merek Terkenal merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan. Alasan perlunya perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal, tidak terlepas dari esensi Merek Terkenal tersebut.
Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual khusunya terhadap Merek Terkenal merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan. Alasan perlunya perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal, tidak terlepas dari esensi Merek Terkenal tersebut.
Berdasarkan beberapa titik masalah diatas penulis mencoba untuk mengangkat sautu masalah yang nyata didunia karya cipta dan akan memberi analisis terhadap kasus tersebut. Dalam tulisan ini penulis mengangkat kasus tentang “Merek Blue Star siapa yang punya ?”.
B. Metode Penulisan
- Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
· KASUS “MEREK BLUE STAR SIAPA YANG PUNYA ?”.
· ANALISIS KASUS
- Batasan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal pembuatan makalah, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang lingkup adanya Penjiplakan Merek pada Suatu merek terkenal saja, yaitu seperti judul diatas.
- Metode Pembahasan
Dalam hal ini penulis menggunakan:
v Metode deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran sejauh mana penjiplakan dan peniruan merek itu telah dilakukan (Atherton dan Klemmack: 1982).
v Penelitian kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.
BAB II. PEMBAHASAN
A. KASUS “MEREK BLUE STAR SIAPA YANG PUNYA ?”.
Kasus perselisihan kepemilikan merek dagang antara perusahaan asing dan lokal bukanlah yang pertama, bahkan sudah sangat sering orang asing harus berjuang di pengadilan hingga tahunan untuk mendapatkan pengakuan sebuah merek dagangnya yang dibajak di Indonesia .
Hampir semua pemilik merek dagang terkenal di dunia seperti Cartier, Prada, Louis Vution, Calvin Klein, Atienne Aigner, Christian Dior dan sejumlah merek terkenal lainnya pernah berurusan dengan pengadilan Indonesia karena merek dagang mereka dibajak oleh orang -orang yang tidak berhak.
Memang pembajakan merek dagang bukan monopoli Indonesia saja, tapi juga terjadi di banyak negara. Bahkan di negara maju sekalipun masih ditemukan penjiplakan atau pendomplengan terhadap merek terkenal. Namun perkara Hawthorne ini semakin memperpanjang deretan kasus-kasus pembajakan merek dagang di Indonesia , sehingga citra Indonesia sebagai salah satu negara yang kurang memberikan perlindungan hukum bagi hak atas kekayaan intelektual (HaKI) makin buruk di mata dunia internasional.
Tidak jelas apakah tergugat adalah seorang pengusaha yang memasarkan produk dengan menggunakan merek Blue Starexchange atau cuma sekadar mendaftarkan merek untuk mendapatkan perlindungan hukum. Satu hal yang pasti, merek Blue Starexchange juga terdaftar atas nama Handy Butun pada 10 Desember 2001 melalui No. 524424 untuk kelas 25. Kelas barang 25 mencakup segala macam barang konveksi yaitu pakaian pria/wanita dan anak-anak, baju sport, celana sport, celana dalam, celana jins, T-shirt, gaun daster dan lain-lain.
B. Bonceng ketenaran
Menurut Ludiyanto, kuasa hukum Hawthorne , tergugat memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan merek dagang tersebut. Karena dia membonceng ketenaran merek Blue Starexchange milik kliennya.
Memang belum jelas apakah tergugat menggunakan imajinasinya sendiri, atau memiliki itikad tidak baik membonceng ketenaran ketika menciptakan merek Blue Star Exchange yang memiliki persamaan dengan merek milik Hawthorne . Hanya Handy Butunlah yang tahu. Tapi, jika sebuah merek dagang sudah terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, pemiliknya memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan menggunakannya di seluruh wilayah Indonesia . Lalu bagaimana dengan Hawthorne ?
Sistem hukum merek Indonesia menganut first to file. Artinya, siapa yang lebih dahulu mendaftarkan merek dagang, dialah yang berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Menurut Ludiyanto, Hawthorne sebenarnya lebih berhak atas merek dagang tersebut, karena perusahaan itulah yang mendaftarkan untuk pertamakalinya Blue Starexchange di Indonesia.
Perusahaan asing itu, ujarnya, telah lebih dahulu mendaftarkan Blue Starexchange di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Hawthorne konon mendaftarkan merek itu pada 25 April 2001 melalui registrasi No. 501166 pada 25 April 2001 untuk kelas 18.
Kelas barang 18 mencakup antara lain benda-benda yang terbuat dari kulit atau imitasi, tas, kopor, dompet, dan lain-lain.
Perusahaan dari Cayman Island itu juga mendaftarkan merek yang sama untuk barang kelas 35 seperti jasa eceran untuk pakaian, alas kaki, jasa pemesanan melalui internet, jasa bisnis manajemen dan lain-lain. Sedangkan untuk barang kelas 25 didaftarkan untuk barang pakaian, alas kaki dan penutup kepala. Sampai di sini tidak ada masalah. Tapi, baru muncul perkara setelah Hawthorne melakukan penelusuran dan pengecekan ternyata merek yang sama juga terdaftar atas nama Handy Butun, yang mendaftarkan merek Blue Star Exchange pada 10 Desember 2001 untuk barang kelas 25.
Dari segi pengucapan memang ada persamaan bunyinya antara merek yang didaftarkan oleh Hawthorne dan Handy Butun. Namun, ada perbedaaan dari segi susunan katanya. Hawthorne menggunakan merek Blue Starexchange (dua suku kata), sedangkan Handy Butun Blue Star Exchange (tiga suku kata).
Menurut Ludiyanto, kata/kalimat Blue Star Exchange milik Handy Butun bukanlah kata yang lazim digunakan dalam pergaulan/percakapan bahasa Indonesia, sehingga tidak rasional apabila kemudian tergugat, yang notabene seorang warga negara Indonesia, mengklaim merek Blue Star Exchange sebagai hasil imajinasinya.
Merek tergugat itu, tambahnya, memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek penggugat baik dari segi pengucapannya maupun susunan dan karakter kata. "Blue Star Exchange milik Handy Butun merupakan penjiplakan/peniruan dari peniruan merek Blue Starexchange milik Hawthorne ," katanya.
Selain di Indonesia, Hawthorne juga telah mendapatkan perlindungan hukum atas merek dagang tersebut di banyak negara antara lain Brunei Darussalam, China, Jerman, Hong Kong, Korsel, Makau, Saudi Arabia, Taiwan, Thailand dan Uni Emirat Arab.
C. Analisis Kasus
Masalah penjiplakan terhadap suatu merek yang terkenal sudah banyak dilakukan oleh banyak kalangan pasar guna untuk mendobrak keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa melihat kerugian dan ketidakpuasan bagi pemilik asli dari merek tersebut. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya penjiplakan ini dilakukan, contohnya adalah: lemahnya peraturan dan perundangan terhadap perlingdungan merek itu sendiri dan mungkin juga adanya itikad tidak baik daripada pihak ketiga tersebut.
Pada kasus penjiplakan merek diatas saya menganilisis bahwasanya penjiplakan merek tersebut diatas adalah suatu tindakan tidak baik atau adanya itikad tidak baik dari pada pihak "Blue Star Exchange milik Handy Butun dan merek Blue Starexchange milik Hawthorne,".
Apabila suatu merek telah dikategorikan sebagai Merek Terkenal, maka akan sangat diperlukan suatu perlindungan hukum agar merek tersebut tidak dibajak oleh orang lain. Adapun perlindungan ini dapat bersifat preventive dan repressive.
Perlindungan secara preventive dititikberatkan pada upaya untuk mencegah agar merek terkenal tidak dipakai oleh orang lain secara salah. Upaya itu dapat berupa: Pertama penolakan pendaftaran oleh kantor merek. Jika ada pendaftaran yang dilakukan oleh orang lain dengan meniru merek terkenal yang sudah ada akan ditolak oleh kantor merek (Pasal 6 ayat 1b dan ayat 2)
Perlindungan tersebut, dapat berupa peniruan pada pokoknya atau peniruan pada keseluruhannya. Peniruan pada pokoknya berarti hampir sama, sedangkan peniruan pada keseluruhannya berarti sama persis dengan merek yang sudah didaftarkan. Oleh karena itu, jika ada orang mendaftarkan merek AQUA untuk air minum mineral harus ditolak oleh kantor merek karena memiliki persamaan pada pokoknnya dengan merek AQUA yang telah ada.
Akibat kesalahan pendaftaran yang dilakukan oleh petugas Kantor Merek, suatu merek yang seharusnya tidak dapat didaftar tetapi akhirnya didaftar dalam Daftar Umum Merek (DUM) yang mengesahkan merek tersebut. Padahal merek tersebut jelas-jelas melanggar merek orang lain, karena berbagai hal antara lain mirip atau sama dengan merek lain yang telah terdaftar sebelumnya. Hal ini juga mungkin menjadi penyebab terjadinya penjiplakan pada kasus diatas.
Perlindungan secara represive dititikberatkan pada pemberian hukuman kepada barang siapa yang telah melakukan kejahatan dan pelanggaran merek sebagaimana diatur dalam Pasal 90,91,94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa telah ada perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal. Namun kiranya ada satu hal yang sampai saat ini masih sedikit mengganjal, yaitu terkait dengan perlindungan hukum terhadap barang atau jasa tidak sejenis. Mengingat sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ada, sehingga sulit untuk menentukan kriteria barang atau jasa tidak sejenis.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa telah ada perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal. Namun kiranya ada satu hal yang sampai saat ini masih sedikit mengganjal, yaitu terkait dengan perlindungan hukum terhadap barang atau jasa tidak sejenis. Mengingat sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ada, sehingga sulit untuk menentukan kriteria barang atau jasa tidak sejenis.
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
Jika suatu merek telah mempunyai reputasi bagus, maka tentulah banyak upaya yang dilakukan untuk meraihnya. Reputasi suatu merek didahului dengan adanya investasi di beberapa tempat secara terus menerus, adanya promosi yang gencar dan berkesinambungan, didaftar di beberapa negara.
Dengan berbagai upaya tersebut akhirnya merek tersebut memiliki reputasi yang bagus di masyarakat. Akhirnya merek tersebut dapat dikategorikan sebagai Merek Terkenal. Jika telah mendapat predikat, maka tentulah jumlah uang yang telah dikeluarkan untuk meraihnya tidak sedikit. Maka sangat wajar jika Merek Terkenal tersebut dilindungi. Hal ini sebagai wujud penghargaan terhadap kinerja pemilik merek tersebut. Di samping itu, jika ditinjau dari segi moral maka sangat tidak etis apabila ada salah satu pihak yang dengan sengaja atau tidak mendompleng merek pihak lain.
Daftar Pustaka
www.google.com/ penjiplakan merek terkenal
Komentar
Posting Komentar
Buatlah pesan anda dengan tata cara yang baik dan tidak mengandung unsur Pornografi dan juga mengandung teror.