Pengangguran dan Krisis Eksistensi Diri

Pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di  negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Ada berbagai macam tipe pengangguran, seperti pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Dari sudut pandang Ekonomi, pengangguran dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga kerja yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Namun, masalah pengangguran ternyata tidak bisa hanya dipandang sebagai masalah ekonomi semata, pengangguran merupakan masalah sosial yang harus dicarikan upaya penyelesaiannya karena berpotensi menyebabkan masalah-masalah sosial lain seperti kemiskinan dan kejahatan. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk menganalisis masalah pengangguran secara lebih mendalam ditinjau dari persfektif sosiologis.
Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial
Berdasarkan teori Fungsional Struktural, masalah sosial timbul karena terjadinya ketidak seimbangan lembaga-lembaga sosial sehingga menyebabkan fungsi lembaga-lembaga tersebut terganggu. Pengangguran dalam hal ini, terjadi akibat kepincangan lembaga ekonomi dan menimbulkan masalah bagi lembaga sosial.
  Pengangguran menjadi masalah sosial tidak karena bersumber pada penyimpangan norma-norma masyarakat, tetapi karena ia rawan menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya, seperti kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, premanisme, prostitusi, dll.
Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial. Suka atau tidak suka, pengangguran selalu berkorelasi dengan kemiskinan yang identik dengan kebodohan, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya. Indikator masalah social ini bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang orang tuanya menganggur, yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Ironisnya, apa yang terjadi saat ini adalah banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu.. Belum lagi dengan semakin menjamurnya prostitusi di Indonesia, sebuah pilihan hidup akibat himpitan ekonomi.
Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi sebuah bukti bahwa pengguran merupakan sebuah masalah sosial yang harus segera dicarikan solusinya karena jika tidak akan menimbulkan masalah-masalah sosial lain yang lebih pelik.

Pengangguran dan Krisis Eksistensi Diri
Ketika muncul satu pertanyaan, apakah pengangguran hanya semata-mata merupakan masalah sosial? Jawabannya adalah tidak. Bagi individu yang menjalaninya, pengangguran merupakan masalah yang setidaknya terkait dengan tiga unsur, yaitu ekonomi, sosial, dan eksistensi diri. Unsur pertama dan Unsur kedua, yakni sosial dan ekonomi, merupakan akibat konkret dari pengangguran. Akan tetapi, ada masalah yang tidak kasat mata yang terjadi pada diri seorang pengangguran yang tidak kalah penting dari masalah ekonomi dan sosial, yakni menyangkut keberadaan manusia. Bahwa ketika orang memasuki status sebagai pengangguran ia berada pada masa krisis akan self-image, yakni krisis identitas. Krisis ini terkait dengan pertanyaan yang sederhana namun sulit dijawab, siapa saya?
Ketika orang bekerja sebagai petani, pada waktu malam sebelum ia tidur, ia akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan tegas: saya petani. Ketika orang bekerja sebagai guru, ia akan menjawab pertanyaan tersebut: saya guru. Namun, apa yang akan dijawab seseorang, ketika ia pengangguran? Tentu saja, ia bisa menjawab dengan mengajukan identitas lainnya, seperti saya orang Jawa, saya seorang ayah, tetapi jawaban itu pun tidak pernah memuaskan. Selalu saja ada yang tidak cukup.
Bekerja tidak hanya soal uang, tetapi juga soal kepuasan yang mencakup pula soal kepercayaan, pengakuan, dan kebanggaan. Seorang manusia akan menjadi benar-benar menjadi manusia ketika ia dapat bekerja dan menghasilkan sesuatu. G.W.F Hegel, seorang filsuf Jerman, pernah menyatakan, bahwa kerja membuat manusia mengaktualisasikan dirinya ke level yang paling maksimal. Melalui kerjalah manusia menemukan keutuhan dirinya. Dengan bekerja, manusia merasa bahagia. Dengan bekerja, tidak hanya kebutuhan ekonomi dan sosialnyalah yang terpenuhi, tetapi kebutuhan eksistensialnya.
Terlebih dalam masyarakat modern kapitalis sekarang ini, orang menyamakan begitu saja hakekat manusia dengan kepunyaannya. Dalam kosa kata filsuf Perancis Gabriel Marcell, being seseorang disamakan dengan having-nya. Saya adalah apa yang saya punya, itulah pandangan yang dianut banyak orang sekarang ini. Jika saya punya rumah, mobil, dan tabungan, maka itulah saya: sang pemilik rumah, pemilik mobil, dan pemilik tabungan. Tidak kurang dan tidak lebih.
Cara berpikir semacam ini tidak hanya berada di level orang yang satu memandang orang lainnya, tetapi juga cara kita memandang diri kita sendiri. Kita merasa tidak berguna, ketika kita tidak punya rumah, mobil, dan tabungan. Tanpa rumah, mobil, dan tabungan, saya bukanlah manusia. Cara berpikir semacam inilah yang merusak, yang juga membuat situasi para pengangguran menjadi lebih menyakitkan. Di satu sisi, ia kehilangan konsep tentang dirinya sendiri. Di sisi lain, ia merasa tidak berguna, karena hampir semua miliknya terancam hilang.
Sampai tahap ini terlihat bahwa pengangguran bukanlah sekedar sebuah masalah sosial, tetapi juga sebuah masalah eksistensial yang terkait erat dengan keberadaan (eksistensi) seseorang. Kecemasan eksistensial, merupakan kecemasan yang obyeknya abstrak, yakni tentang keberadaan manusia itu sendiri. Orang mengalami kecemasan eksistensial, jika ia mempertanyakan segala sesuatu yang ia yakini sebelumnya di dalam hidupnya secara radikal. Biasanya, momen kecemasan eksistensial terjadi, ketika kita sedang mengalami krisis.
Ketika anda di PHK secara tidak adil, anda akan bertanya? Bisakah saya hidup setelah ini? Apakah saya masih punya kesempatan untuk bekerja di tempat lain? Bagaimana dengan masa depan istri dan anak-anak saya?
Itulah kecemasan eksistensial. Kecemasan yang terkait erat dengan seluruh keberadaan diri dan diderita oleh banyak orang pengangguran. Kecemasan ini nampaknya merupakan jawaban atas penyebab kegelisahan-kegelisahan dalam diri para penganggut. Hal ini pulalah yang pada hakikatnya menyebabkan para penganggur banyak yang bertindak menyimpang dan menimbulkan masalah-masalah sosial yang lain seperti kejahatan dan prostitusi, bahkan tidak sedikit orang yang bunuh diri, karena menjadi pengangguran.
Jadi, secara ringkas dapat saya kemukakan bahwa pengangguran merupakan sebuah masalah yang kompleks, tidak hanya menyangkut masalah sosial bagi masyarakat luas tetapi juga merupakan masalah eksistensial bagi individu yang menjalaninya. Namun, terlepas dari itu semua, masalah sosial merupakan masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh kita semua. Melalui penyelesaian masalah pengangguran, diharapkan masalah-masalah sosial lain yang timbul akibat pengangguran seperti kejahatan dan prostitusi juga dapat teratasi.
 
DAFTAR REFERENSI
 
1.  Judul: “ Penganggur Rawan Timbulkan Problem Sosial ”
     Pengarang: Ant
Data publikasi: diakses dari http: http://harianjoglosemar.com/ Menggunakan google! Pada tanggal 02 Desember,2008,16:30 oleh Najmu Laila.
 
2.  Judul: “ Memotong Penyebab Pengangguran ”
     Pengarang: Ubaydillah, AN Jakarta
Data publikasi: diakses dari http: http://www.e-psikologi.com/ Menggunakan google! Pada tanggal 29 November,2008,19:30 oleh Najmu Laila.
 
3.  Judul: “ Paradoks Pengangguran ”
     Pengarang: Reza A dan A. Wattimena
Data publikasi: diakses dari http: http://apakabar@saltmine.radix.net/ Menggunakan google! Pada tanggal 29 November,2008,20:00 oleh Najmu Laila.
 
4.  Judul: ‘Sosiologi Suatu Pengantar’
Pengarang: Soerjono Soekanto
Data Publikasi: Depok: PT. Grafindo Persada, 404 hal, 2006.

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Apa itu Kejaksaan?