Memerangi Kemiskinan dan Pengangguran

TAHU-TAHU mereka, para capres putaran I dan putaran II, menjadi populis. Seolah-olah melepaskan diri dari paham kaum mainstream dan ramé-ramé, bergabung dengan kaum strukturalis. Tahu-tahu mereka bicara keras dan berjanji memerangi kemiskinan dan pengangguran (ketertindasan dan keterhinaan) sebagaimana kaum strukturalis bertitik tolak dalam membangun ekonomi, sebagaimana kaum strukturalis menuding teori ekonomi dan model pembangunan ekonomi yang tidak berorientasi pada paham dan ideologi kerakyatan.
Mereka seolah-olah menjadi penganut Hatta yang berjuang melalui pembelaannya di Pengadilan Den Haag tahun 1928 yang diberi judul "Indonesia Merdeka". Mereka seolah-olah menjadi pendukung ide marhaenisme Soekarno yang berjuang membela wong cilik dalam pengadilan Bandung 2 tahun kemudian (1930) dengan pembelaannya yang berjudul "Indonesia Menggugat". Kedua founding fathers itu kita kenal sebagai kaum "strukturalis awal", yang sadar akan ketimpangan-ketimpangan struktural dalam kehidupan sosial-ekonomi bangsa terjajah, yang menyusun kemerdekaan Indonesia berdasar ideologi kerakyatan, yang dengan bahasa sekarang kita menyebutnya sebagai doktrin populisme (lihat artikel saya, Suara Pembaruan, 23 September 1994).
Demikian pula para ekonom mainstream yang semula antipaham populis, yang propasar habis-habisan, buru-buru ikut mendukung para Capres, ikut-ikutan bicara tentang prioritas memberantas kemiskinan dan pengangguran.
Masalah Utama
Alam pikiran para pendiri Republik ini menegaskan bahwa penanggulangan kemiskinan bukanlah upaya residual. Artinya kemiskinan dan pengangguran tidak boleh sekadar menjadi upaya "anak bawang" atau "the left-over", yang baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres dulu.
Sebaliknya, kemiskinan dan pengangguran adalah masalah substansional, masalah utama yang mendasar, yang sejak awal perencanaan pembangunan harus ditetapkan sebagai target nasional utama. Kaum ekonom Indonesia umumnya, dengan ciri bawaannya sebagai neoklasikal atau class-room economists, justru menempatkan kemiskinan dan pengangguran sebagai target derivatif, sekadar residu dari target pertumbuhan ekonomi.
Sejak lima capres yang lalu mulai menyadari tuntutan masyarakat akan betapa mendesaknya pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pengangguran, yang sempat telah menumbuhkan kebringasan, brutal dan berperangai ancaman, tak pelak mengangkat kemiskinan dan pengangguran sebagai tema utama dalam pameran-pameran keunggulan masing-masing capres.
Kita tahu slogan kampanye mereka ini ada yang hanya bersifat slogan atau gincu pinang di bibir merah, atau sekadar kelatahan imitatif hampa substansi. Namun kita tahu ada pula yang tulus, bertitik tolak dari tanggung jawab moral dan komitmen ideologis, bahwa pembangunan nasional adalah proses humanisasi, proses pencerdasan hidup rakyat (bukan sekadar pencerdasan logika dan memori).
Lawan utama dari bertitik tolak substansial (nonresidual) adalah "pasar-bebas". Fundamentalisme pasar (market fundamentalism) dan kaum fundamentalis pasar (market fundamentalists) Indonesia, sebagaimana sering "ketrucut" (terlepas diucapkan) telah menegaskan sikap mereka yang antipopulis tatkala tokoh mainstream di zaman Presiden Wahid menyarankan paket kebijakan pemulihan ekonomi: Katanya kalau ekonomi mau pulih kita tidak boleh berpendekatan populis.
Ini dua kesalahan terjadi sekaligus bila dikaitkan dengan gawatnya pengangguran dan kemiskinan. Kemiskinan dan pengangguran yang laten dan makin poten adalah masalah ketimpangan struktural (bukan sekadar masalah hitung-hitungan RAPBN), lebih merupakan masalah titik tolak dalam pemikiran pembangunan daripada sekadar masalah cita rasa dalam geser-menggeser prioritas, lebih merupakan masalah strategi dasar daripada sekadar masalah pendekatan. Yang diperlukan oleh bangsa kita adalah reformatory economic recovery (bukan sekadar economic recovery), yakni pemulihan ekonomi reformatif agar bisa sesuai dengan cita-cita UUD 1945.
Sejak awal kemerdekaan, bahkan sejak UUD 1945 dipersiapkan, kita telah menempatkan rakyat sebagai subjek terhormat dalam sistem ekonomi Indonesia. Rakyatlah yang kita bangun, bukan ekonominya an sich. Ini sesuai dengan dasar dan ideologi kerakyatan yang menyertai tekad untuk Merdeka.
Itulah sebabnya, satu-satunya pasal mengenai perekonomian (Pasal 33 UUD 1945) diletakkan di Bab XIV UUD 1945 yang judulnya "Kesejahteraan Sosial". Dengan kata lain, perekonomian mau diapakan saja (sesuai ayat-ayatnya), "diotak-atik" mana-suka, ujung-ujungnya harus membuahkan "kesejahteraan sosial". (UUD 2002 mengubah judul Bab itu menjadi "Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial", menunjukkan telah terjadinya suatu pereduksian makna dan/atau kedangkalan pemahaman mengenai cita-cita dari para perumusnya di MPR).
Sebab itu pula, kita menetapkan Pasal 27 (Ayat 2): "...Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...". Inilah yang ada di UUD 1945. Bahwa pertumbuhan ekonomi (GDP) itu penting, adalah sesuatu yang dengan sendirinya harus demikian untuk mengisi Pasal 27 (Ayat 2) itu. "Pekerjaan" dan "penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" (antipengangguran dan kemiskinan) inilah yang substansial (sekali lagi tidak residual). Manusianyalah yang dibangun, bukan ekonominya semata-mata.
Menabur Janji
Lalu apa hebatnya menabur janji memerangi kemiskinan dan pengangguran, tokh ini pesan konstitusional yang tentu tidak bisa ditawar? Apakah ini suatu perlombaan untuk berani keluar dari pakem ekonomi usang, yang mereka belum tentu paham tapi sempat mereka gandrungi? Apakah ini justru suatu kesadaran dan pengakuan tulus untuk back-to-basics bahwa bukan kabinet atau presiden yang harus ramah-pasar, tetapi sebaliknya pasarlah yang harus ramah kepada rakyat, ramah kepada kepentingan nasional (memberantas kemiskinan dan pengangguran) itu
.Antara Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) dengan pasar-bebas tidak sepenuhnya bisa akur, bahkan secara ideologis dan teoretik-empirik banyak bertentangan, tidak mudah dirukunkan. Pasar memang tidak harus dimusuhi, tetapi pasar tidak bisa dijadikan berhala baru. "Daulat pasar" tidak bisa dibiarkan menggusur "daulat rakyat". Kalau saja ada cukup ruang di Suara Pembaruan ini, tentu akan saya eksposekan tanggung jawab saya dalam berpendirian demikian secara akademik-ilmiah. Namun akan saya kutibkan tokoh-tokoh besar Barat terkemuka (penyandang penghargaan Nobel) yang menegaskan perlunya kita mewaspadai pasar-bebas.
Nama Stiglitz penyandang penghargaan Nobel, juga nama Thurow mantan Dekan pada MIT, yang sedang tenar di kalangan ekonom Indonesia. Ini saya kutipkan untuk mengakomodasi sikap mereka yang biasanya "lunak" (baca: subdued) dalam menerima pandangan orang-orang Barat.
Kata Stiglitz mengenai globalisasi (2002): "... sebenarnya banyak pihak keadaannya telah menjadi lebih buruk ... banyak kesempatan kerja hilang dan kehidupannya telah menjadi makin tidak pasti. Pembangunan akan terus menciptakan kemiskinan dan ketidakstabilan ... terkikisnya kebudayaan .... Tanpa adanya reformasi maka dampak balik yang telah ditimbulkannya akan terus memuncak serta ketidakpuasan atas adanya globalisasi akan terus meningkat... Cara bagaimana globalisasi telah diatur ... perlu secara radikal dipikir ulang ...".
Sementara itu, Thurow menegaskan (2002): "... Dalam hal kegiatan investasi, maka kapitalisme sangat terarah dan sangat memberi batasan. Hanya kegiatan investasi, yang teruji dapat menciptakan net present value positif sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan segala kegiatan investasi yang menciptakan net present value negatif harus dihentikan. Pasar-bebas diadakan untuk dapat menegakkan pelaksanaan prinsip-prinsip yang diharuskan oleh teori ekonomi ... Kapitalisme muncul dengan berbagai penyakit genetik yang telah tertanam di dalamnya...".
Ada buku terkenal yang saya nilai harus dibaca oleh semua mahasiswa ekonomi, yang menjelaskan betapa ilmu ekonomi (economics) dan ekonomi pembangunan (development economics) sudah saatnya ditinjau kembali, bahkan direvisi dan direformasi, (lihat Gerald Meir dan Joseph Stiglitz, editors, rontiers of Development Economics, Oxford Univesity Press, 2001.
Buku ini berisi kontroversi tentang peran pasar-bebas, yang ditulis oleh tokoh-tokoh besar yang telah meniti perjalanan development economics selama 50 tahun ke belakang dari dua generasi pemikir dan sekaligus membentangkan tantangan-tantangan masa depan yang harus diperhatikan oleh generasi pemikir masa depan, menampilkan tulisan beberapa penerima Nobel Ekonomi seperti Lawrence Kein, Douglas North, Paul Samuelson, Amartya Sen, Robert Solow serta beberapa pionir terkemuka dalam development economics seperti Sir Hans Singer, Gerald M. Meier, Hla Myint, WW Rostow, Arnold Harberger).

Telah Berubah
Bapak Ilmu Ekonomi Adam Smith (1723-1790) sebagai "nabi" bagi kaum market fundamentalists, bila masih hidup boleh kaget melihat bahwa teori invisble hand-nya (tangan tak kelihatan atau pengaturan otomatis oleh pasar), telah berubah menjadi the dirty hand. Pasar ngobok-obok orang miskin dan lemah, pasar ngobok-obok penentu kebijakan dan memperjualbelikan politisi.
Terlepas dari apa yang dikatakan Thurow, Amartya Sen, Stiglitz dan lain-lain yang memihak pada pemerataan dan keadilan ekonomi; terlepas dari IMF, Bank Dunia dan Washington Consensus yang neoliberalistik dan pro pasar (antisubsidi, antiproteksi dan antipopulisme); biar sajalah semua itu.
Pokoknya bagi Indonesia Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) itulah yang harus kita anut, dan itu tidak salah dari segi moralitas ilmu ekonomi, bahkan tepat dari segi teori baru ekonomi, apalagi dari segi ideologi. (Macam ini pula yang dikatakan oleh Revrisond Baswir tatkala ia memprotes penjualan Indosat dan di situ saya menegaskan pula penjualan Indosat yang berdasar norma-norma pasar-bebas neoliberalistik adalah suatu "high treason").
Adalah keliru besar, apabila suatu kejahatan konstitusional dan kejahatan moral (yang impeachable) bila kita menggusur orang miskin dan tidak menggusur kemiskin-an.

Sri-Edi Swasono (Penulis adalah Guru Besar FEUI, pengarang buku Ekspose Ekonomika, UGM, 2004)


Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/22/index.html

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Apa itu Kejaksaan?