Strategi Perempuan Batak untuk Akses kepada Harta Warisan

for everyone
Buku: Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa (oleh:Sulistyowati Irianto).

Bersentuhan dengan hukum di Indonesia seringkali diidentikkan dengan uang dan
ketidakpercayaan masyarakat tentang keadilan, sebagaimana ungkapan seorang informan yang dikutip oleh penulis dalam buku ini: ‘Hukum itu habis-habisan, hukum itu duit’ (hlm.151). Ketika seorang perempuan janda ditanya oleh penulis tentang alasannya tidak meminta bantuan hukum, maka jawaban informan: ‘Polisi sudah main sogok. Nanti habis uang kita. Polisi tidak memberi keselamatan, tetapi memeras kita’ (hlm.156). Ini menunjukkan sikap traumatis masyarakat terhadap perlakuan aparat hukum di Indonesia, sehingga seringkali peradilan negara menjadi alternatif penyelesaian ketika masyarakat sudah dalam keadaan terdesak untuk menggunakannya, terutama mereka yang masuk dalam kategori ekonomi lemah.

Buku dengan judul yang cukup atraktif untuk dibaca ini merupakan hasil penelitian disertasi Sulistyowati Irianto untuk mencapai gelar doktor dalam bidang antropologi hukum yang terdiri dari enam bab. Dalam bab pendahuluan, Sulistyowati memberikan gambaran tentang masalah yang dihadapi oleh perempuan Batak Toba yang berkaitan dengan akses terhadap hak waris dan metode yang digunakan oleh peneliti dalam mengungkapkan kasus-kasus hak waris perempuan Batak Toba. Bab berikutnya berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dan pluralisme hukum berdasarkan perspektif antropologi hukum.

Pada Bab III, penulis melukiskan kehidupan masyarakat Batak Toba di Jakarta sebagai subjek dari penelitiannya, yang kemudian diikuti secara terpisah dalam Bab IV dan V dengan penjelasan mengenai bagaimana strategi perempuan janda untuk mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana anak perempuan dan harta orang tuanya dalam pandangan hukum adat dan hukum negara. Sebagai penutup, buku ini diakhiri dengan suatu diskusi, analisis dan kesimpulan penulis. Tesis utama buku ini berkaitan dengan pluralisme hukum—dalam hubungan dengan individu sebagai subyek sistem hukum, kompetisi sistem hukum dan ketumpangtindihan sistem hukum—dan pilihan hukum berdasarkan perspektif perempuan.

Studi dengan menggunakan pendekatan kualitatif ini mengkombinasikan antara data lapangan dan dokumen pengadilan yang mengungkapkan tentang bagaimana budaya hukum dan sub-budaya hukum waris dalam kaitan dengan strategi yang digunakan oleh perempuan Batak Toba dalam penyelesaian sengketa harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa harta waris, penulis membedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial (hlm.51).

Eksplorasi perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif yang menjadi bagian dari strategi bagi perempuan janda dan anak perempuan dalam penyelesaian sengketa harta waris merupakan keunikan dari hasil penelitian ini. Pendekatan pluralisme hukum yang digunakan oleh penulis dalam buku ini menjadi primary point sekaligus menjadi pendobrak perspektif ilmu hukum arus utama yang telah menjadikan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang menjadi panutan, padahal hukum negara di mata rakyat sendiri lebih dipahami sebagai hukum yang dirumuskan secara sepihak tanpa mengikutkan rakyat sehingga dalam implementasinya banyak menimbulkan kerugian di pihak rakyat.

Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara anak perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni ‘hak meminta’ berdasarkan cinta kasih (hlm.9–10). ‘Hak meminta’ ini mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi; sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta. Artinya ‘hak meminta’ pun masih ambiguous antara diberi dan tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak memiliki hak waris.

Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya (hlm.10–11).

Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang implementasinya agak lunak, yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga (hlm.263–264).Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak dimenangkanoleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan antara harta pusaka dan harta perkawinan.

Pada Bab IV penulis menunjukkan berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan janda ketika bersengketa, mulai dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga mantan suaminya, sampai dengan cara yang frontal untuk mempertahankan harta yang dikumpulkan bersama suaminya ataupun harta waris suaminya dari orang tuanya. Strategi yang digunakan oleh perempuan janda adalah dengan menjual harta peninggalan suaminya agar tidak diperkarakan lebih lanjut oleh kerabat suami, meskipun ini berakibat si perempuan janda menjadi tak berharta atau terpuruk secara finansial dan sosial.

Ini dianggap lebih baik dari pada memiliki harta, tapi kehidupan tidak tenteram.
Membuat sertifikat baru atas tanah atau rumah, setelah terlebih dahulu membuat surat keterangan hilang, lalu menjualnya ke orang lain atau membalik nama sertifikat tersebut, menjadi atas namanya merupakan strategi lain yang dilakukan oleh perempuan janda. Ketika dalam keadaan terdesak, misalnya setelah mendapat tekanan psikis dan/atau fisik dari anak (kandung/tiri) dan/atau kerabat suami, maka perempuan janda mengalihkan penyelesaian sengketa ke pengadilan, terutama pada kasus cerai hidup karena perempuan janda tidak memiliki posisi tawar jika penyelesaian harta berdasarkan hukum adat Batak yang tidak mengenal harta gono-gini.

Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan janda, meskipun hak waris telah diatur dalam UU Perkawinan No.1/1974 yang didukung dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang termaktub dalam UU No.7/1984. Untuk kasus-kasus yang tidak dipengadilankan, ada kecenderungan terjadinya ‘pengambangan,’ artinya kasus tersebut dibiarkan saja (lumping it), tetapi si perempuan janda tetap berhubungan dengan pihak lawan; atau dengan cara mengelak (avoidance) dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang.

Pada Bab V digambarkan, bahwa strategi anak perempuan—sebagaimana pada perempuan janda, meskipun dengan cara yang berbeda—dalam menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari ber-acting untuk mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan janda sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika perempuan janda sudah dalam keadaan sangat terdesak (the last resort), maka anak perempuan dalam menghadapi kasus sengketa warisan lebih litigious. Artinya, anak perempuan lebih berani berurusan dengan institusi hukum negara dibandingkan dengan perempuan janda dalam kasus-kasus sengketa waris ketika anak perempuan sudah pernah bersentuhan dengan hukum negara.

Sikap litigious ini tidak saja ditunjukkan dengan cara mengabaikan keputusan peradilan adat jika negosiasi atau mediasi secara adat tidak berhasil, tetapi juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss.

Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan). Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun masih ambiguous karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’ ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris.

Berbeda dengan perempuan janda yang justru karena lawan sengketanya adalah kerabat, sehingga peradilan negara menjadi alternatif terakhir atau kalaupun digunakan tidak secara sepenuhnya (borrowing), yang dapat disebut sebagai ‘pilihan hukum yang bersifat dikotomis.’

Dari penggambaran penulis di Bab IV dan V ini menunjukkan bagaimana perspektif perempuan ketika dihadapkan pada situasi-situasi pilihan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarahkan perempuan untuk memilih institusi tertentu. Satu hal yang agak kabur dalam tulisan ini adalah perbedaan keterbatasan akses hukum bagi perempuan janda dan anak perempuan, karena nampaknya dua-duanya bersentuhan dengan hukum negara secara terbatas. Meskipun penulis sudah menegaskan, bahwa peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh perempuan janda, tapi anak perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan negara sebagai cara pertama (first resort), kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan peradilan adat dan jika ada yang memperadilankan kasus sengketa terlebih dahulu, yang akhirnya mengenalkan anak perempuan pada institusi hukum negara, yang diistilahkan oleh penulis sebagai ‘pilihan hukum yang kontinum’ (hlm.267). Artinya, kedua-duanya menjadikan peradilan negara sebagai cara penyelesaian sengketa setelah terdesak,meskipun ‘keterdesakan’ untuk memilih peradilan negara di antara keduanya berada pada level yang berbeda.

Hal lain yang membedakan antara perempuan janda dan anak perempuan dengan lawan sengketa masing-masing juga dapat dilihat dari hubungan kekerabatan. Jika perempuan janda dalam sengketa harta warisan berhadapan dengan kerabat suaminya, yang menjadi kerabat hanya karena adanya ikatan perkawinan; maka dalam sengketa anak perempuan dengan kerabat ayah dan/atau saudara laki-lakinya, hubungan kekerabatan ada karena adanya pertalian darah. Berdasarkan perbedaan hubungan kekerabatan genetik dan non-genetik ini, maka penulis menyimpulkan bahwa konflik lebih potensil terjadi antara perempuan janda dan kerabat suami daripada antara anak perempuan dengan saudara laki-laki/kerabat ayahnya.

Hal yang patut digarisbawahi dari hasil penelitian ini adalah, bahwa implementasi hukum adat tidak berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya implementasi hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah asal dan mereka yang tinggal di Jakarta; tidak adanya perbedaan antara laki-laki yang buta dan yang paham akan hukum negara karena menjagokan hukum adat yang memihak kepada laki-laki; dan tidak relevannya status sosial yang ditunjukkan dengan kekayaan seseorang dengan keinginan untuk menyengketakan harta waris agar tidak jatuh ke tangan perempuan. Namun, tingkat pendidikan perempuan berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris.

Kesimpulan penulis pada bab terakhir mempertegas penjelasan-penjelasan sebelumnya yang menyangkut pluralisme hukum waris dan pilihan hukum serta kompetisi hukum adat dan hukum negara dalam sengketa warisan. Satu hal menarik jika dibandingkan dengan perempuan janda adalah bahwa anak perempuan dianggap tidak saja sebagai sebagai ‘agen perubahan’ karena keberanian mereka untuk membawa kasus mereka ke pengadilan, tetapi juga sebagai ‘agen dalam menghidupkan budaya Batak’ yang sangat litigious. Ini terbukti dengan banyaknya kasus dalam dokumen pengadilan yang melibatkan anak perempuan dibandingkan dengan perempuan janda (hlm.284–285).

Membaca buku ini tidak saja memberikan gambaran kepada pembaca tentang diskriminasi kepemilikan harta waris berdasarkan budaya Batak, tetapi juga menunjukkan berbagai upaya resistensi yang dilakukan oleh perempuan janda dan anak perempuan dalam merebut ataupun mempertahankan apa yang dianggap sebagai hak mereka. Buku ini memberikan kontribusi yang sangat bernilai terhadap etnografi Batak dan sangat bermanfaat bagi mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan. Sebagai catatan akhir, hasil penelitian ini menjadi tantangan bagi kita, terutama mereka yang berkecimpung dalam bidang antropologi hukum untuk memberikan sumbangsihnya berdasarkan hasil penelitian dalam upaya-upaya reformasi hukum yang kongkrit dalam penyelesaian sengketa harta waris yang tidak diskriminatif di Indonesia.

Komentar

  1. selamat malam,bagaimana cara/prosedur yg harus sy tempuh ?agar sy bisa mendapatkan photo copy disertasinya?

    BalasHapus
  2. sy benar-benar amat berbinat pada bidang antropology hukum,krn lebih menantang dalam mengungkapkan suatu realitas hukum pd masyarakat,mk dibutuhkan banyak strategi dalam meraih data-data,semoga sy bisa mendapatkan photo copy DISERTASI nya,bgmn cara/prosedur yg harus sy tempuh?hp 081906998299 atau 085239551229,terimakasih sy ucapakan sebelumnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Buatlah pesan anda dengan tata cara yang baik dan tidak mengandung unsur Pornografi dan juga mengandung teror.

Postingan populer dari blog ini

Angka Umpasa di Na Marhusip

Contoh Umpasa batak

Apa itu Kejaksaan?