HUKUM ADAT
Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba
(Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat)
Sunarmi
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan masyarakat pendukungnya. Dalam pembangunan hukum nasional,
peranan hukum adat sangat penting. Karena hukum nasional yang akan dibentuk,
didasarkan pada hukum adat yang berlaku.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat
menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Bila hukum
adat yag mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengn
kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah hukum adat tersebut
agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pengetua adat.
Hukum adat mengalami perkembangan karena adanya interaksi sosial, budaya,
ekonomi dan lain-lain. Persintuhan itu mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadp
hukum adat.
Selain tidak terkodifikasi, hukum adat itu memiliki corak :
1) Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisionil.
Bahwa peraturan hukum adat umumnya oleh rakyat dianggap berasal dari nenek
moyang yang legendaris (hanya ditemui dari cerita orang tua).
2) Hukum adat dapat berubah
Perubahan dilakukan bukan dengan menghapuskan dan mengganti peraturan-
peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan demikian itu akan
bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci dan bahari. Akan tetapi perubahan
terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian , pengaruh peri kedaan hidup yang silih
berganti-ganti. Peraturan hukum adat harus dipakai dan dikenakan oleh pemangku
adat (terutama oleh kepala-kepala) pada situasi tertentu dari kehidupan sehari-hari;
dan peristiwa-peristiwa demikian ini, sering dengan tidak diketahui berakibat
pergantian, berubahnya peraturan adat dan kerap kali orang sampai menyangka,
bahwa peraturan-peraturan lama tetap berlaku bagi kedaaan-keadaan baru.
3) Kesanggupan hukum adat menyesuaikan diri.
Justru karena pada hukum adat terdapat sifat hukum tidak tertulis dan tidak
dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat yang melepaskan diri dari ikatan-
ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang modern) memperlihatkan kesanggupan
untuk menyesuaikan diri dan elastisiteit yang luas. Suatu hukum sebagai hukum adat,
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang terlebih-lebih ditimbulkan keputusan di kalangan perlengkapan masyarakat
belaka, sewaktu-waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.1
Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah suatu
hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Sesuai dengan fitranya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri.2
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek
moyang dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang masalah
perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi
oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat
ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang
pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah :
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari
dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2
tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang
pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
4. Jurisprudensi
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat
hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa,
Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai
pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum
adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan
kesejahteraan anak.
Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku,
namun masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan pengadilan atau
dengan suatu akta notaris yang disahkan oleh pengadilan setempat.
Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki
merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki
sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila
suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak
laki-laki yang disebut dengan “anak naniain” dengan syarat anak laki-laki yang diangkat
haruslah berasal dari lingkungan kaluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat.
Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di hadapan
“dalihan na tolu” dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa sekeliling
tempat tinggal orang yang mengangkat anak.
Apabila syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah
terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak
lagi mewaris dari orang tua kandungnya.
1 Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, Sumur Bandung, bandung,
1971, hal 7.
2 R. Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963, hal 6.
2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Konsekwensi dari pengangkatan anak yang demikian ini, tentu mempunyai pengaruh
terhadap terhadap kedudukan anak tersebut baik terhadap orang kandungnya maupun
terhadap orang tua angkat si anak. Hal di atas merupakan latar belakang pemilihan topik
tentang anak angkat dalam sistem hukum adat Batak Toba.
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah asas-asas pengangkatan anak menurut hukum adat Batak Toba.
2. Bagaimanakah akibat hukum dari pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba.
BAB II
PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Pengangkatan anak
Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari
Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Adoption artinya pengangkatan, pemungutan,
adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child.3
Supomo menyebutkan di seluruh wilayah hukum (Jawa barat) bilamana dikatakan “mupu,
mulung atau mungut anak” yang dimaksudkan ialah mengangkat anak orang lain sebagai
anak sendiri.4
B. Ter Haar Bzn berpendapat : Adoption is common throughout the Archipelago. By
means it is a child, who does not belong to the family group, is brought into the family un
such a way that his relationship amongs to the same thing as a true kinship relation.
(Adopsi pada umumnya terdapat di seluruh nusantara. Artinya, bahwa perbuatan
pengangkatan anak dari luar kerabatnya, yang memasukkan dalam keluarganya begitu
rupa sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan
kemasyarakatan yang tertentu biologis.)5
Di Batak Toba dikenal anak naniain, yaitu semacam anak angkat yang harus
memenuhi syarat-syarat :
a. Yang mau mengain haruslah tidak mempunyai anak laki-laki;
b. Anak yang diangkat tersebut haruslah dari antara anak-anak saudaranya atau keluarga
dekat lainnya;
c. Harus “dirajahon” artinya harus dengan upacara adat yang telah ditentukan untuk itu
yang dihadiri oleh keluarga dekat, “dalihan na tolu” serta pengetua-pengetua dari
kampung sekelilingnya (raja-raja bius).
“Anak naniain” berasal dari kata dasar “ain” artinya “angkat”, yang menurut kamus
Batak Toba Indonesia karangan J. Warneck, anak niain berarti anak angkat sedangkan
3 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, hal 13.
4 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di Kemudian hari,
Rajawali, Jakarta, 1983, hal 39.
5 B. Ter Haar, Adat law in Indonesia, Terjemahan Hoebel, E Adamson dan A. Arthur Schiler, Jakarta, 1962,
hal 175.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
mangain artinya mengangkat seseorang menjadi anak sendiri misal keluarga yang tidak
mempunyai anak.6
“Nain” ditambah kata depan “na” dalam bahasa Indonesia artinya “yang”, jadi “anak
naniain” artinya anak yang diangkat.
“Dirajahon” berarti diresmikan dengan upacara adat Batak Toba.
“Dalihan Natolu” yang juga disebut “Dalihan Nan Tungku Tiga” (artinya Tungku
Nan Tiga) adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan
pada suku Batak. Di dalam Dalihan Natolu terdapat 3 unsur hubungan kekeluargaa, yang
sama dengan tungku sederhana dan praktis yang terdiri dari 3 buah batu. Ketiga unsur
hubungan kekeluargaan itu ialah :7
1. Dongan Sabutuha (teman semarga);
2. Hulahula (keluarga dari pihak isteri);
3. Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).
Di lingkungan masyarakat Batak Toba dikenal pengangkatan anak secara umum dan
khusus.
Pengangkatan anak secara umum adalah pengangkatan anak yang sifatnya formal dan
bukan merupakan peristiwa hukum. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak mempunyai
akibat hukum. Misalnya : memberi marga bagi isteri atau suami yang bukan berasal dari
Batak Toba.
Pengangkatan anak secara khusus adalah pengangkatan yang merupakan peristiwa hukum
serta mempunyai akibat hukum, misalnya anak naniain.
Menurut hukum adat Batak Toba, subyek pengangkatan anak adalah orang yang
sudah kawin tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. Misalnya orang tersebut sudah
mempunyai anak tetapi perempuan semua sehingga ia dapat mengangkat anak laki-laki.
Sedangkan obyek pengangkatan anak anak laki-laki (belum kawin atau sudah kawin) dari
saudara-saudaranya atau keluarga dekat yang mengangkat.
B. Asas-asas Dalam Pengangkatan Anak
Pasal 12 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menenutkan ;
a) Pengangkatan Anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak;
b) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaktub adalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah;
c) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat
dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini mengandung asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat.
Pasal 5 ayat 1 Stb. 1917 No. 129 tentang adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa
menentukan bila seorang laki-laki, kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan
laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik karena hubungan darah maupun karena
pengangkatan, dapat mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya.
Selanjutnya Pasal 6 menentukan : Yang boleh diangkat sebagai anak hanyalah orang
Tionghoa laki-laki yang tidak kawin dan tidak mempunyai anak, yang belum diangkat
orang lain.
6 J. Warneck, Kamus Batak toba- Indonesia, Judul asli Toba batak Nederlands Woordenbook,
duterjemahkan oleh P. Leo Joosten Ofm Cap, Bina Media, Jakarta, 2001, hal 5.
7 T.M. Sihombing, Filasaft Batak, Balai Pustaka, jakarta, 1986, hal 71.
4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Stb. 1917 No. 129 mengandung asas mengangkat anak
laki-laki untuk meneruskan garis keturunan.
Sesuai dengan perkembangan jaman keluar Yurisprudensi yaitu Keputusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/P tertanggal 29 Mei 1963 bagi golongan Tionghoa
diperbolehkan mengadopsi anak perempuan.
Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di beberapa
daerah, antara lain :8
1) Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang
bersangkutan akan punah (Fear of extinction of afamily);
2) Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan hilang
garis keturunannya (Fear of diving childless and so suffering the axtinction of the line
of descent).
Dari motivasi di atas terkandung asas mengangkat anak untuk meneruskan garis
keturunan.
Di daerah Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan Timor dan Bali yang
menganut garis patrilineal, pengangkatan anak pada prinsipnya hanya pengangkatan anak
laki-laki dengan tujuan utamanya adalah untuk meneruskan keturunan.
Selain asas-asas sebagaimana diuraikan di atas, dalam pengangkatan anak terkandung
juga asas yang lain yaitu :
♦ Asas kekeluargaan
♦ Asas kemanusiaan
♦ Asas persamaan hak
♦ Asas musyawarah dan mufakat.
♦ Asas tunai dan terang.
C. Akibat hukum Pengangkatan Anak
Menurut hukum adat tata cara pengangkatan anak dapat dilaksanakan dengan cara :9
a. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan
dimasukkan ke dalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran benda-
benda magis, uang, pakaian.
b. Terang artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan bantuan
para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat ke dalam tata hukum masyarakat.
Terhadap tata cara pengangkatan anak menurut hukum adat, Mahkamah Agung dalam
putusannya No. 53 K/Pdt/1995, tanggal 18 Maret 1996 berpendapat bahwa dalam
menentukan sah tidaknya status hukum seorang anak angkat bukan semata-mata karena
tidak memiliki Penetapan dari Pengadilan negeri, dimana SEMA RI No. 2 tahun 1979 jo
SEMA RI No. 6 Tahun 1983 jo SEMA RI No. 4 Tahun 1989 merupakan Petunjuk Teknis
dari Mahkamah Agung kepada para Hakim Pengadilan untuk kepentingan penyidangan
permohonan anak angkat yang bersifat voluntair dan khusus hanya untuk penetapan anak
angkat saja.
Pengangkatan anak tentu membawa konsekwensi yuridis. Dan hal ini di tiap-tiap
daerah berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Bahkan untuk daerah
8 B. Ter Haar, Op cit hal, 175.
9 Iman Sudiyat, Hukum Adat – Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal 102
5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang menganut sistem kekerabatan yang sama belum tentu mempunyai karakteristik yang
sama.
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah
menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak”
maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya
hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang
mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang
asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri
tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang
diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan
hak sepenuhnya atas warisan.10
Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap
anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu, memandang dalam lahir dan bathin
aanak itu sebagai anak keturunannya sendiri.11
Di daerah batak Toba ditentukan bahwa anak naniain berbeda dengan anak angkat
menurut pengertian sehari-hari ialah tidak dapatnya diangkat anak (laki-laki) dari
siapapun kecuali dari keluarga dekat untuk menjadi anak naniain. Anak naniain menjadi
ahli waris dari ayah yang mengainnya dan kehilangan hak mewaris dari orang tua
kandungnya.12
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam
pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan
hubungan anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak
akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan
mendapat waris dari orangtua angkat.
c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak
dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru
dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang
tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat
marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.13
Stb, 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan adopsi adalah
sebagai berikut :
a. Pasal 11 : anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang
mengadopsi.
b. Pasal 12 ayat 1 : anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang
mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang
mengadopsi.
10 B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, Pradnya
Paramita, jakarta, 1985, hal 247.
11 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur ,Bandung, 1976, hal 29.
12 Bastian tafal, Opcit, hal 105.
13 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo, jakarta, 1985, hal
21.
6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang
mengadopsi, maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berkedudukan sebagai anak sah,
dengan segala konsekwensi lebih lanjut.14
Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan adoptandus
berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut :
1. Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya UU No. 1 tahun 1974, maka akibat
hukumnya tunduk kepada KUHPerdata yang meliputi :
a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara
dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2
KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia
menjadi dewasa, tetap di bawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan
orang tua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata).
b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang
belum dewasa, maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal
307 KUHPerdata).
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur
berapapun wajib menaruhkehormatan dan keseganan terhadap bapak dan
ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.
2. Apabila adopsi dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974, maka akibat
hukumnya tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1974 yang meliputi :
a. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, yaitu :
Di dalam Pasal 45 dinyatakan bahwa :
a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
b) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Di dalam Pasal 47 dinyatakan :
a) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut kekuasaannya.
b) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
Pasal 49 menentukan :
a) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan
dalam hal-hal :
1. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya,
2. Ia berkelakuan buruk sekali.
b. Kewajiban orang tua terhadap harta benda anak, yaitu :
Di dalam pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan :
14 J. Satrio, Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra aditya, bandung,
2000, hal. 236.
7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu selain berhak atas
pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur
dalam Pasal 46 UU No. 1 tahun 1974 yaitu :
1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2) Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya.
Karena adopsi, maka terputus segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan
orang tua kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, M, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo,
Jakarta, 1985.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981
Prodjodikoro, R. Wirjono Hukum Warisan di Indonesia, Sumur ,Bandung, 1976
Supomo R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963
Sihombing, T.M., Filasaft Batak, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
Sudiyat, Iman, Hukum Adat – Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999
Satrio .J., Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra
Aditya, Bandung, 2000
Tafal , Bastian B., Pengangkatan Anak Menurut hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di
Kemudian hari, Rajawali, Jakarta, 1983
Ter Haar B, Adat law in Indonesia, Terjemahan Hoebel, E Adamson dan A. Arthur
Schiler, Jakarta, 1962
----------Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti
Poesponot, Pradnya Paramita, jakarta, 1985, hal 247.
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, Sumur
Bandung, Bandung, 1971
Warneck J, Kamus Batak Toba- Indonesia, Judul asli Toba batak Nederlands
Woordenbook, diterjemahkan oleh P. Leo Joosten Ofm Cap, Bina Media,
Jakarta, 2001
8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
(Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat)
Sunarmi
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan masyarakat pendukungnya. Dalam pembangunan hukum nasional,
peranan hukum adat sangat penting. Karena hukum nasional yang akan dibentuk,
didasarkan pada hukum adat yang berlaku.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat
menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Bila hukum
adat yag mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengn
kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah hukum adat tersebut
agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pengetua adat.
Hukum adat mengalami perkembangan karena adanya interaksi sosial, budaya,
ekonomi dan lain-lain. Persintuhan itu mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadp
hukum adat.
Selain tidak terkodifikasi, hukum adat itu memiliki corak :
1) Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisionil.
Bahwa peraturan hukum adat umumnya oleh rakyat dianggap berasal dari nenek
moyang yang legendaris (hanya ditemui dari cerita orang tua).
2) Hukum adat dapat berubah
Perubahan dilakukan bukan dengan menghapuskan dan mengganti peraturan-
peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan demikian itu akan
bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci dan bahari. Akan tetapi perubahan
terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian , pengaruh peri kedaan hidup yang silih
berganti-ganti. Peraturan hukum adat harus dipakai dan dikenakan oleh pemangku
adat (terutama oleh kepala-kepala) pada situasi tertentu dari kehidupan sehari-hari;
dan peristiwa-peristiwa demikian ini, sering dengan tidak diketahui berakibat
pergantian, berubahnya peraturan adat dan kerap kali orang sampai menyangka,
bahwa peraturan-peraturan lama tetap berlaku bagi kedaaan-keadaan baru.
3) Kesanggupan hukum adat menyesuaikan diri.
Justru karena pada hukum adat terdapat sifat hukum tidak tertulis dan tidak
dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat yang melepaskan diri dari ikatan-
ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang modern) memperlihatkan kesanggupan
untuk menyesuaikan diri dan elastisiteit yang luas. Suatu hukum sebagai hukum adat,
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang terlebih-lebih ditimbulkan keputusan di kalangan perlengkapan masyarakat
belaka, sewaktu-waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.1
Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah suatu
hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Sesuai dengan fitranya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri.2
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek
moyang dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang masalah
perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi
oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat
ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang
pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah :
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari
dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2
tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang
pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
4. Jurisprudensi
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat
hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa,
Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai
pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum
adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan
kesejahteraan anak.
Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku,
namun masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan pengadilan atau
dengan suatu akta notaris yang disahkan oleh pengadilan setempat.
Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki
merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki
sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila
suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak
laki-laki yang disebut dengan “anak naniain” dengan syarat anak laki-laki yang diangkat
haruslah berasal dari lingkungan kaluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat.
Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di hadapan
“dalihan na tolu” dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa sekeliling
tempat tinggal orang yang mengangkat anak.
Apabila syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah
terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak
lagi mewaris dari orang tua kandungnya.
1 Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, Sumur Bandung, bandung,
1971, hal 7.
2 R. Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963, hal 6.
2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Konsekwensi dari pengangkatan anak yang demikian ini, tentu mempunyai pengaruh
terhadap terhadap kedudukan anak tersebut baik terhadap orang kandungnya maupun
terhadap orang tua angkat si anak. Hal di atas merupakan latar belakang pemilihan topik
tentang anak angkat dalam sistem hukum adat Batak Toba.
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah asas-asas pengangkatan anak menurut hukum adat Batak Toba.
2. Bagaimanakah akibat hukum dari pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba.
BAB II
PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Pengangkatan anak
Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari
Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Adoption artinya pengangkatan, pemungutan,
adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child.3
Supomo menyebutkan di seluruh wilayah hukum (Jawa barat) bilamana dikatakan “mupu,
mulung atau mungut anak” yang dimaksudkan ialah mengangkat anak orang lain sebagai
anak sendiri.4
B. Ter Haar Bzn berpendapat : Adoption is common throughout the Archipelago. By
means it is a child, who does not belong to the family group, is brought into the family un
such a way that his relationship amongs to the same thing as a true kinship relation.
(Adopsi pada umumnya terdapat di seluruh nusantara. Artinya, bahwa perbuatan
pengangkatan anak dari luar kerabatnya, yang memasukkan dalam keluarganya begitu
rupa sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan
kemasyarakatan yang tertentu biologis.)5
Di Batak Toba dikenal anak naniain, yaitu semacam anak angkat yang harus
memenuhi syarat-syarat :
a. Yang mau mengain haruslah tidak mempunyai anak laki-laki;
b. Anak yang diangkat tersebut haruslah dari antara anak-anak saudaranya atau keluarga
dekat lainnya;
c. Harus “dirajahon” artinya harus dengan upacara adat yang telah ditentukan untuk itu
yang dihadiri oleh keluarga dekat, “dalihan na tolu” serta pengetua-pengetua dari
kampung sekelilingnya (raja-raja bius).
“Anak naniain” berasal dari kata dasar “ain” artinya “angkat”, yang menurut kamus
Batak Toba Indonesia karangan J. Warneck, anak niain berarti anak angkat sedangkan
3 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, hal 13.
4 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di Kemudian hari,
Rajawali, Jakarta, 1983, hal 39.
5 B. Ter Haar, Adat law in Indonesia, Terjemahan Hoebel, E Adamson dan A. Arthur Schiler, Jakarta, 1962,
hal 175.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
mangain artinya mengangkat seseorang menjadi anak sendiri misal keluarga yang tidak
mempunyai anak.6
“Nain” ditambah kata depan “na” dalam bahasa Indonesia artinya “yang”, jadi “anak
naniain” artinya anak yang diangkat.
“Dirajahon” berarti diresmikan dengan upacara adat Batak Toba.
“Dalihan Natolu” yang juga disebut “Dalihan Nan Tungku Tiga” (artinya Tungku
Nan Tiga) adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan
pada suku Batak. Di dalam Dalihan Natolu terdapat 3 unsur hubungan kekeluargaa, yang
sama dengan tungku sederhana dan praktis yang terdiri dari 3 buah batu. Ketiga unsur
hubungan kekeluargaan itu ialah :7
1. Dongan Sabutuha (teman semarga);
2. Hulahula (keluarga dari pihak isteri);
3. Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).
Di lingkungan masyarakat Batak Toba dikenal pengangkatan anak secara umum dan
khusus.
Pengangkatan anak secara umum adalah pengangkatan anak yang sifatnya formal dan
bukan merupakan peristiwa hukum. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak mempunyai
akibat hukum. Misalnya : memberi marga bagi isteri atau suami yang bukan berasal dari
Batak Toba.
Pengangkatan anak secara khusus adalah pengangkatan yang merupakan peristiwa hukum
serta mempunyai akibat hukum, misalnya anak naniain.
Menurut hukum adat Batak Toba, subyek pengangkatan anak adalah orang yang
sudah kawin tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. Misalnya orang tersebut sudah
mempunyai anak tetapi perempuan semua sehingga ia dapat mengangkat anak laki-laki.
Sedangkan obyek pengangkatan anak anak laki-laki (belum kawin atau sudah kawin) dari
saudara-saudaranya atau keluarga dekat yang mengangkat.
B. Asas-asas Dalam Pengangkatan Anak
Pasal 12 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menenutkan ;
a) Pengangkatan Anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak;
b) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaktub adalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah;
c) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat
dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini mengandung asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat.
Pasal 5 ayat 1 Stb. 1917 No. 129 tentang adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa
menentukan bila seorang laki-laki, kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan
laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik karena hubungan darah maupun karena
pengangkatan, dapat mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya.
Selanjutnya Pasal 6 menentukan : Yang boleh diangkat sebagai anak hanyalah orang
Tionghoa laki-laki yang tidak kawin dan tidak mempunyai anak, yang belum diangkat
orang lain.
6 J. Warneck, Kamus Batak toba- Indonesia, Judul asli Toba batak Nederlands Woordenbook,
duterjemahkan oleh P. Leo Joosten Ofm Cap, Bina Media, Jakarta, 2001, hal 5.
7 T.M. Sihombing, Filasaft Batak, Balai Pustaka, jakarta, 1986, hal 71.
4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Stb. 1917 No. 129 mengandung asas mengangkat anak
laki-laki untuk meneruskan garis keturunan.
Sesuai dengan perkembangan jaman keluar Yurisprudensi yaitu Keputusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/P tertanggal 29 Mei 1963 bagi golongan Tionghoa
diperbolehkan mengadopsi anak perempuan.
Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di beberapa
daerah, antara lain :8
1) Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang
bersangkutan akan punah (Fear of extinction of afamily);
2) Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan hilang
garis keturunannya (Fear of diving childless and so suffering the axtinction of the line
of descent).
Dari motivasi di atas terkandung asas mengangkat anak untuk meneruskan garis
keturunan.
Di daerah Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan Timor dan Bali yang
menganut garis patrilineal, pengangkatan anak pada prinsipnya hanya pengangkatan anak
laki-laki dengan tujuan utamanya adalah untuk meneruskan keturunan.
Selain asas-asas sebagaimana diuraikan di atas, dalam pengangkatan anak terkandung
juga asas yang lain yaitu :
♦ Asas kekeluargaan
♦ Asas kemanusiaan
♦ Asas persamaan hak
♦ Asas musyawarah dan mufakat.
♦ Asas tunai dan terang.
C. Akibat hukum Pengangkatan Anak
Menurut hukum adat tata cara pengangkatan anak dapat dilaksanakan dengan cara :9
a. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan
dimasukkan ke dalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran benda-
benda magis, uang, pakaian.
b. Terang artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan bantuan
para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat ke dalam tata hukum masyarakat.
Terhadap tata cara pengangkatan anak menurut hukum adat, Mahkamah Agung dalam
putusannya No. 53 K/Pdt/1995, tanggal 18 Maret 1996 berpendapat bahwa dalam
menentukan sah tidaknya status hukum seorang anak angkat bukan semata-mata karena
tidak memiliki Penetapan dari Pengadilan negeri, dimana SEMA RI No. 2 tahun 1979 jo
SEMA RI No. 6 Tahun 1983 jo SEMA RI No. 4 Tahun 1989 merupakan Petunjuk Teknis
dari Mahkamah Agung kepada para Hakim Pengadilan untuk kepentingan penyidangan
permohonan anak angkat yang bersifat voluntair dan khusus hanya untuk penetapan anak
angkat saja.
Pengangkatan anak tentu membawa konsekwensi yuridis. Dan hal ini di tiap-tiap
daerah berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Bahkan untuk daerah
8 B. Ter Haar, Op cit hal, 175.
9 Iman Sudiyat, Hukum Adat – Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal 102
5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang menganut sistem kekerabatan yang sama belum tentu mempunyai karakteristik yang
sama.
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah
menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak”
maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya
hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang
mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang
asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri
tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang
diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan
hak sepenuhnya atas warisan.10
Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap
anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu, memandang dalam lahir dan bathin
aanak itu sebagai anak keturunannya sendiri.11
Di daerah batak Toba ditentukan bahwa anak naniain berbeda dengan anak angkat
menurut pengertian sehari-hari ialah tidak dapatnya diangkat anak (laki-laki) dari
siapapun kecuali dari keluarga dekat untuk menjadi anak naniain. Anak naniain menjadi
ahli waris dari ayah yang mengainnya dan kehilangan hak mewaris dari orang tua
kandungnya.12
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam
pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan
hubungan anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak
akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan
mendapat waris dari orangtua angkat.
c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak
dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru
dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang
tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat
marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.13
Stb, 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan adopsi adalah
sebagai berikut :
a. Pasal 11 : anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang
mengadopsi.
b. Pasal 12 ayat 1 : anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang
mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang
mengadopsi.
10 B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, Pradnya
Paramita, jakarta, 1985, hal 247.
11 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur ,Bandung, 1976, hal 29.
12 Bastian tafal, Opcit, hal 105.
13 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo, jakarta, 1985, hal
21.
6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang
mengadopsi, maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berkedudukan sebagai anak sah,
dengan segala konsekwensi lebih lanjut.14
Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan adoptandus
berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut :
1. Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya UU No. 1 tahun 1974, maka akibat
hukumnya tunduk kepada KUHPerdata yang meliputi :
a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara
dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2
KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia
menjadi dewasa, tetap di bawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan
orang tua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata).
b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang
belum dewasa, maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal
307 KUHPerdata).
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur
berapapun wajib menaruhkehormatan dan keseganan terhadap bapak dan
ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.
2. Apabila adopsi dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974, maka akibat
hukumnya tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1974 yang meliputi :
a. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, yaitu :
Di dalam Pasal 45 dinyatakan bahwa :
a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
b) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Di dalam Pasal 47 dinyatakan :
a) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut kekuasaannya.
b) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
Pasal 49 menentukan :
a) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan
dalam hal-hal :
1. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya,
2. Ia berkelakuan buruk sekali.
b. Kewajiban orang tua terhadap harta benda anak, yaitu :
Di dalam pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan :
14 J. Satrio, Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra aditya, bandung,
2000, hal. 236.
7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu selain berhak atas
pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur
dalam Pasal 46 UU No. 1 tahun 1974 yaitu :
1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2) Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya.
Karena adopsi, maka terputus segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan
orang tua kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, M, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo,
Jakarta, 1985.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981
Prodjodikoro, R. Wirjono Hukum Warisan di Indonesia, Sumur ,Bandung, 1976
Supomo R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963
Sihombing, T.M., Filasaft Batak, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
Sudiyat, Iman, Hukum Adat – Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999
Satrio .J., Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra
Aditya, Bandung, 2000
Tafal , Bastian B., Pengangkatan Anak Menurut hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di
Kemudian hari, Rajawali, Jakarta, 1983
Ter Haar B, Adat law in Indonesia, Terjemahan Hoebel, E Adamson dan A. Arthur
Schiler, Jakarta, 1962
----------Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti
Poesponot, Pradnya Paramita, jakarta, 1985, hal 247.
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, Sumur
Bandung, Bandung, 1971
Warneck J, Kamus Batak Toba- Indonesia, Judul asli Toba batak Nederlands
Woordenbook, diterjemahkan oleh P. Leo Joosten Ofm Cap, Bina Media,
Jakarta, 2001
8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Komentar
Posting Komentar
Buatlah pesan anda dengan tata cara yang baik dan tidak mengandung unsur Pornografi dan juga mengandung teror.