Suksesi ....
Proposal Suksesi untuk SBY Cetak Email
Oleh : Bersihar Lubis
Soekarno dan Soeharto jatuh karena tragedy. Bukan melalui system Pemilu dan Pemilihan Presiden (pilpres).
Keduanya seperti tidak tahu kapan turun dari singgasananya, karena tidak dipersiapkan. Tidak ada system suksesi, apalagi regenerasi. Bahkan, khusus Soeharto, sidang umum MPR seolah-olah hanya melegitimasi ia terpilih lagi. Ibarat pesta penikahan, pengantinnya sudah ketahuan.
Syukurlah, sekarang sudah system Pemilu dan Pilpres, serta masa jabatannya pun dibatasi hanya boleh dua priode. Tapi siapa kelak pengganti Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2014? Apakah cukup dengan menyerahkan begitu saja kepada gelanggang demokratis yang tersedia pada 2014? Artinya, siapa suka, silahkan maju!
Politik adalah seni membuka berbagai kemungkinan. Jika demikian, mengapa tak direkayasa saja? Misalnya, dipersiapkan justru di awal masa jabatan SBY yang kedua kalinya pada 2009 ini. Sebab, jika disiapkan setahun atau dua tahun menjelang Pilpres, terlalu cepat dan singkat. Bahkan, akan mengganggu intensitas jalannya pemerintahan, baik di eksekutif dan legislative, yang so pasti mulai "demam" Pemilu dan Pilpres.
Misalkan saya menjadi SBY, saya akan menempatkan para tokoh Demokrat secara berjenjang umur dan pengalaman di pemerintahan dan yang memimpin di DPR, sekaligus juga di Partai Demokrat.
Saya bayangkan kira-kira begini. Akan ada kategori generasi di ketiga lembaga pematangan dan pengodokan kader itu, yakni pemerintahan, DPR dan Partai. Ya, faktor kualitas dan keragaman profesi juga jadi pertimbangan. Jadilah ada tiga gerbong generasi yang disiapkan sejak awal 2009 hingga 2014.
Misalnya, generasi pertama berusia 50-60-an tahun. Generasi kedua disusul yang berumur 40-50-an dan terakhir, generasi ketiga berusia 30-40-an tahun.
Jika Pemilu 2014 tiba, maka generasi pertama yang berumur 50-60-an, dan sebagian para senior yang berumur 65-66 tahun ke atas, tiba masanya pamit dari panggung politik praktis, dan menjadi kelompok penasihat partai.
Nah, generasi kedua dan ketiga akan naik "kelas" dan terjun dalam Pemilu 2014. Di bawahnya pun sudah ada gerbong generasi baru, yang tetap di posisi generasi ketiga yang berusia 30-40-an tahun. Sebagian dri generasi ketiga ini juga diikutkan dalam partai.
Andaikata dalam perjalanan lima tahun 2009-2014, ada kader yang terpleset, dan apa boleh buat harus digradasikan dan digantikan kader berikut di bawahnya bak urut kacang, baik dalam usia, pengalaman, kualitas, keragaman profesi dan sebagainya. Yang bernoda, harap minggir!
Saya tak mengada-ada. Bukankah dalam kebangkitan bangsa ini pun telah diawali Angkatan 1908, disusul Angkatan 1928 lalu Angkatan 1945?
Bukan hendak menafikan terobosan baru. Tetapi suksesi dan regenerasi yang alamiah selalu lebih baik dibanding regenerasi ala karbitan, yang matang sebelum waktunya.
Menunggu Kabinet
Alangkah elok jika proses yang sama juga berlangsung di partai-partai pendukung pemerintahan maupun yang di luar pemerintahan. Bedanya, partai di luar pemerintahan hanya punya dua lembaga pematangan dan penggodokan, yakni di DPR dan partai.
Tak tiba-tiba yang berada pada generasi kedua dan ketiga naik memimpin partai, yang sebentar lagi akan musim Munas, Kongres atau Muktamar. Bagaimana pun living reality di tubuh partai tak bisa dikesampingkan oleh perasaan-perasaan bahwa "saya mampu, lo." Kecuali, ada kenyataan obyektif dan demo kratis mengatakan "Anda memang mampu dan Anda kami jagokan" adalah kasus pengecualian.
Membusungkan seraya mendabik dada, "ah, kita perlu perubahan" terdengar sloganik mengingat day to day dunia politik yang pragmatis. Tentu saja ada yang "salah" bahkan "kelemahan" di tubuh gerbong generasi pertama dan kedua, suatu hal yang tak mustahil pula diderita gerbong generasi ketiga. Tentu saja antargenerasi itu tercermin dalam kepemimpinan partai maupun di DPR. Saya kira juga di pemerintahan.
Berdamai dengan masa lalu, dan kemudian menatap ke masa depan yang panjang adalah ciri seorang modernis-realis. Betapapun anak-anak muda sebal melihat para seniornya, tetapi mereka dan juga yang muda sesungguhnya telah masuk menjadi problem dan mestinya sekaligus semua ikut menjadi solusinya.
Terus terang saja "konflik" antargenerasi agak di tubuh partai-partai kita. Jika pun tak mengemuka secara terbuka dan blak-blakan, tetapi secara implicit dan remang-remang hal itu tertangkap public juga. Bicaralah hati ke hati dengan berbagai tokoh parpol, maka faksional itu pasti ada, dan memang ada.
Barangkali dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, SBY sangat dipujikan jika melakukan "rekonsiliasi" yang sama dalam penyusunan kabinet. Apa salahnya jika SBY melakukan seperti Soeharto pun merekrut pemimpin partai yang non-Golkar di tubuh kabinetnya?
Tak perlu buru-buru menuduh bahwa jika fenomena itu terjadi, lalu berkata, nah, ini dia kita kembali ke era Orde Baru, di mana pemerintahan semakin kuat karena didukung semua partai di DPR.
SBY tentu sadar dirinya bukanlah replikasi Soeharto, seperti sadarnya tokoh parpol yang berseberangan dengan Demokrat pada Pemilu dan Pilpres 2009 lalu – sekiranya masuk ke dalam kabinet -- bukanlah dalam rangka keordebaruan yang sudah silam itu.
Khalayak ramai pun akan menilai sekiranya tindakan SBY yang mengkomodasi semua kekuatan parpol besar adalah karena kehendak menciptakan perpolitikan yang monolit.
Tapi saya kira SBY tak melakukannya dengan motif seperti itu, karena pasti akan dikecam oleh kalangan civil society. Boleh jadi juga oleh dunia internasional jika ada kehendak mereplikasi Orde Baru.
Zaman sudah berubah. Era reformasi yang merupakan transisi menuju demokratisasi sudah rada terlewati meski belum 100%. Lagi pula pers, NGO dan berbagai kekuatan demokrasi tak bisa dibungkam jika praktek Orde Baru, misalnya yang KKN dikhawatirkan akan terulang. Tapi saya tak yakin SBY mau melakukan itu.
Tak berarti jika parpol besar dan menengah ikut mendukung pemerintahan, lalu kritik menjadi dipantangkan. Kritik sesama "teman" pastilah tak menyakitkan. Kritik "teman" pun walau pahit tapi benar pastilah demi kebaikan "teman" yang dikritik.
Rasa-rasanya kelak, kompetisi Pemilu dan Pilpres 2014, bagai Piala Dunia yang ditonton masyarakat dunia dengan gairah yang menggelegak. Di ujung pesta, yang menang tak arogan, kalah tetap sportif. Mungkinkah pengadaian ini terjadi? Mari kita tunggu bagaimana kabinet SBY-Boediono disusun. Tabik! **
Oleh : Bersihar Lubis
Soekarno dan Soeharto jatuh karena tragedy. Bukan melalui system Pemilu dan Pemilihan Presiden (pilpres).
Keduanya seperti tidak tahu kapan turun dari singgasananya, karena tidak dipersiapkan. Tidak ada system suksesi, apalagi regenerasi. Bahkan, khusus Soeharto, sidang umum MPR seolah-olah hanya melegitimasi ia terpilih lagi. Ibarat pesta penikahan, pengantinnya sudah ketahuan.
Syukurlah, sekarang sudah system Pemilu dan Pilpres, serta masa jabatannya pun dibatasi hanya boleh dua priode. Tapi siapa kelak pengganti Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2014? Apakah cukup dengan menyerahkan begitu saja kepada gelanggang demokratis yang tersedia pada 2014? Artinya, siapa suka, silahkan maju!
Politik adalah seni membuka berbagai kemungkinan. Jika demikian, mengapa tak direkayasa saja? Misalnya, dipersiapkan justru di awal masa jabatan SBY yang kedua kalinya pada 2009 ini. Sebab, jika disiapkan setahun atau dua tahun menjelang Pilpres, terlalu cepat dan singkat. Bahkan, akan mengganggu intensitas jalannya pemerintahan, baik di eksekutif dan legislative, yang so pasti mulai "demam" Pemilu dan Pilpres.
Misalkan saya menjadi SBY, saya akan menempatkan para tokoh Demokrat secara berjenjang umur dan pengalaman di pemerintahan dan yang memimpin di DPR, sekaligus juga di Partai Demokrat.
Saya bayangkan kira-kira begini. Akan ada kategori generasi di ketiga lembaga pematangan dan pengodokan kader itu, yakni pemerintahan, DPR dan Partai. Ya, faktor kualitas dan keragaman profesi juga jadi pertimbangan. Jadilah ada tiga gerbong generasi yang disiapkan sejak awal 2009 hingga 2014.
Misalnya, generasi pertama berusia 50-60-an tahun. Generasi kedua disusul yang berumur 40-50-an dan terakhir, generasi ketiga berusia 30-40-an tahun.
Jika Pemilu 2014 tiba, maka generasi pertama yang berumur 50-60-an, dan sebagian para senior yang berumur 65-66 tahun ke atas, tiba masanya pamit dari panggung politik praktis, dan menjadi kelompok penasihat partai.
Nah, generasi kedua dan ketiga akan naik "kelas" dan terjun dalam Pemilu 2014. Di bawahnya pun sudah ada gerbong generasi baru, yang tetap di posisi generasi ketiga yang berusia 30-40-an tahun. Sebagian dri generasi ketiga ini juga diikutkan dalam partai.
Andaikata dalam perjalanan lima tahun 2009-2014, ada kader yang terpleset, dan apa boleh buat harus digradasikan dan digantikan kader berikut di bawahnya bak urut kacang, baik dalam usia, pengalaman, kualitas, keragaman profesi dan sebagainya. Yang bernoda, harap minggir!
Saya tak mengada-ada. Bukankah dalam kebangkitan bangsa ini pun telah diawali Angkatan 1908, disusul Angkatan 1928 lalu Angkatan 1945?
Bukan hendak menafikan terobosan baru. Tetapi suksesi dan regenerasi yang alamiah selalu lebih baik dibanding regenerasi ala karbitan, yang matang sebelum waktunya.
Menunggu Kabinet
Alangkah elok jika proses yang sama juga berlangsung di partai-partai pendukung pemerintahan maupun yang di luar pemerintahan. Bedanya, partai di luar pemerintahan hanya punya dua lembaga pematangan dan penggodokan, yakni di DPR dan partai.
Tak tiba-tiba yang berada pada generasi kedua dan ketiga naik memimpin partai, yang sebentar lagi akan musim Munas, Kongres atau Muktamar. Bagaimana pun living reality di tubuh partai tak bisa dikesampingkan oleh perasaan-perasaan bahwa "saya mampu, lo." Kecuali, ada kenyataan obyektif dan demo kratis mengatakan "Anda memang mampu dan Anda kami jagokan" adalah kasus pengecualian.
Membusungkan seraya mendabik dada, "ah, kita perlu perubahan" terdengar sloganik mengingat day to day dunia politik yang pragmatis. Tentu saja ada yang "salah" bahkan "kelemahan" di tubuh gerbong generasi pertama dan kedua, suatu hal yang tak mustahil pula diderita gerbong generasi ketiga. Tentu saja antargenerasi itu tercermin dalam kepemimpinan partai maupun di DPR. Saya kira juga di pemerintahan.
Berdamai dengan masa lalu, dan kemudian menatap ke masa depan yang panjang adalah ciri seorang modernis-realis. Betapapun anak-anak muda sebal melihat para seniornya, tetapi mereka dan juga yang muda sesungguhnya telah masuk menjadi problem dan mestinya sekaligus semua ikut menjadi solusinya.
Terus terang saja "konflik" antargenerasi agak di tubuh partai-partai kita. Jika pun tak mengemuka secara terbuka dan blak-blakan, tetapi secara implicit dan remang-remang hal itu tertangkap public juga. Bicaralah hati ke hati dengan berbagai tokoh parpol, maka faksional itu pasti ada, dan memang ada.
Barangkali dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, SBY sangat dipujikan jika melakukan "rekonsiliasi" yang sama dalam penyusunan kabinet. Apa salahnya jika SBY melakukan seperti Soeharto pun merekrut pemimpin partai yang non-Golkar di tubuh kabinetnya?
Tak perlu buru-buru menuduh bahwa jika fenomena itu terjadi, lalu berkata, nah, ini dia kita kembali ke era Orde Baru, di mana pemerintahan semakin kuat karena didukung semua partai di DPR.
SBY tentu sadar dirinya bukanlah replikasi Soeharto, seperti sadarnya tokoh parpol yang berseberangan dengan Demokrat pada Pemilu dan Pilpres 2009 lalu – sekiranya masuk ke dalam kabinet -- bukanlah dalam rangka keordebaruan yang sudah silam itu.
Khalayak ramai pun akan menilai sekiranya tindakan SBY yang mengkomodasi semua kekuatan parpol besar adalah karena kehendak menciptakan perpolitikan yang monolit.
Tapi saya kira SBY tak melakukannya dengan motif seperti itu, karena pasti akan dikecam oleh kalangan civil society. Boleh jadi juga oleh dunia internasional jika ada kehendak mereplikasi Orde Baru.
Zaman sudah berubah. Era reformasi yang merupakan transisi menuju demokratisasi sudah rada terlewati meski belum 100%. Lagi pula pers, NGO dan berbagai kekuatan demokrasi tak bisa dibungkam jika praktek Orde Baru, misalnya yang KKN dikhawatirkan akan terulang. Tapi saya tak yakin SBY mau melakukan itu.
Tak berarti jika parpol besar dan menengah ikut mendukung pemerintahan, lalu kritik menjadi dipantangkan. Kritik sesama "teman" pastilah tak menyakitkan. Kritik "teman" pun walau pahit tapi benar pastilah demi kebaikan "teman" yang dikritik.
Rasa-rasanya kelak, kompetisi Pemilu dan Pilpres 2014, bagai Piala Dunia yang ditonton masyarakat dunia dengan gairah yang menggelegak. Di ujung pesta, yang menang tak arogan, kalah tetap sportif. Mungkinkah pengadaian ini terjadi? Mari kita tunggu bagaimana kabinet SBY-Boediono disusun. Tabik! **
Komentar
Posting Komentar
Buatlah pesan anda dengan tata cara yang baik dan tidak mengandung unsur Pornografi dan juga mengandung teror.